PERBANKAN

Posted by amroe-iain surabaya | Posted in , | Posted on 11.29




RISIKO PERBANKAN

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah membuktikan bahwa selama 60 tahun merdeka, peta perbankan Indonesia selalu berayun ke kiri dan ke kanan, mencari bentuknya yang prima untuk
menopang pembangunan ekonomi Indonesia. Didirikan oleh para pendiri Republik, Bank Negara Indonesia 1946, sebagai ganti dari Javase Bank, sebagai bank sentralnya Indonesia. Sementara itu, disisi lain timbul juga permintaan dari sebagian besar rakyat untuk adanya bank-bank yang berdasarkan prinsip syariah Islam. Undang-Undang Perbankan kemudian diamendir/disempurnakan sehingga memberi tempat bagi terlayani dan didirikannya bank-bank syariah di Indonesia.
Lebih jauh, peranan Bank Sentral/Bank Indonesia sebagai lembaga moneter yang mengemban tugas menjamin stabilisi ekonomi/pengendalian tingkat inflasi, dan
stabilisi kurs rupiah terhadap valuta asing, maka Bank Indonesia dibuat
menjadi lebih mandiri/independent dari kegiatan pemerintah. Hal ini diwujudkan didalam Undang-Undang tentang Bank Sentral No. 23 tahun 1999. Disini mulailah terjadi masalah, baik di dalam pemahaman idea kemandirian/independensi dari Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, maupun di dalam praktiknya, terutama didalam pembinaan sistem perbankan yang sehat.Makalah ini membahas tentang risiko-risiko yang mungkin ditimbulkan oleh bank. Yang dapat menimbulkan risiko pewarisan masalah seperti beban hutang kepada generasi penerus dan masalah lain.

B. Rumusan Masalah
Agar lebih praktis dalam menguraikan permasalahan, maka perlu adanya rumusan masalah, yang mana rumusan masalah dalam studi ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Risiko-risiko perbankan?
2. Manajemen risiko perbankan satu alternative?
3. Tantangan manajemen risiko bank syariah?
4. Komparasi risiko pada bank syariah dengan bank konvensional?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Risiko-Risiko Perbankan
Risiko dan bank adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, tanpa adanya keberanian untuk mengambil risiko maka tidak akan pernah ada bank, dalam artian bahwa bank muncul karena keberanian untuk berisiko dan bahkan bank mampu bertahan karena berani mengambil risiko. Namun jika risiko tersebut tidak dikelola dengan baik, bank dapat mengalami kegagalan bahkan pada akhirnya mengalami kebangkrutan.
Risiko, khususnya di dalam konteks bisnis (Bank dan lembaga keuangan), tidaklah selalu mewakili sesuatu hal yang buruk. Kenyataannya Risiko bisa mengandung di dalamnya suatu peluang yang sangat besar bagi mereka yang mampu mengelolanya dengan baik. Hal itu mungkin yang melatarbelakangi mengapa kalimat “Saya akan ambil Risiko tersebut,” dalam bahasa Inggris lebih banyak dinyatakan dengan, I will take that chance.
Secara sederhana J.P Morgan mengartikan risiko sebagai suatu ketidak pastian dari Net Return yang terjadi, atau secara komprehensif risiko merupakan suatu potensi terjadinya peristiwa (event) yang dapat memberikan pengaruh negatif terhadap nilai suatu portofolio aset yang dapat diukur dengan probabilitas tertentu dalam rentang waktu yang diketahui.
Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa gampangnya risiko hari ini bisa diterjemahkan sebagai potensi kerugian esok hari, akan tetapi malangnya, risiko tidaklah bisa diukur seperti menghitung pendapatan dan biaya yang harus dikeluarkan bank karena risiko tidaklah bersifat “tangible”. Pengukuran risiko lebih merupakan hal yang konseptual dan merupakan tantangan dalam menerapkan praktik perbankan berbasis risiko. Jadi untuk menilai risiko yang “intangible”, mendefinisikannya dengan benar merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar.


Sifat dan Risiko Bisnis Perbankan
Meski keberadaan lembaga keuangan sangat penting bagi perekonomian, namun tetap saja bisnis di sektor keuangan menimbulkan resiko, yang jika tidak diantisipasi akan menimbulkan serangan balik bagi perekonomian. Perbankan adalah bisnis yang memiliki tingkat exposure tinggi. Sebagai lembaga intermediasi keuangan, bisnis bank harus menghadapi sejumlah risiko.
Sejumlah ekonom mengklasifikasikan berbagai risiko yang terkait dengan perbankan. Gardener (1986) melaporkan bahwa risiko bank terdiri dari risiko umum (general risk), risiko internasional (international risk) yang dicerminkan melalui risiko mata uang (currency risk), dan risiko kesehatan finansial (solvency risk). Risiko umum (general risk) adalah risiko fundamental yang pasti dihadapi oleh semua bank yang meliputi risiko likuiditas (liquidity risk), risiko suku bunga (interest rate risk), dan risiko kredit (credit risk). Votja (1973) sebelumnya memiliki pandangan yang berbeda tentang risiko bank ini. Menurutnya, risiko dapat diklasifikasikan menjadi credit risk, investment risk, liquidity risk, operating risk, fraud risk, dan risiko gadai (fiduciary risk). Sedangkan Maisel mengklasifikasikan risiko bank menjadi interest rate risk, operating risk, dan fraud risk (Maisel, 1981). Maisel berpendapat bahwa interest rate risk memberikan kontribusi secara signifikan dalam pembentukan terjadinya insolvency.
Dengan berbagai pandangan ini, maka dapat disimpulkan bahwa risiko perbankan terdiri dari credit risk, interest rate risk, currency risk, liquidity risk, solvency risk, market risk, currency risk, investment risk, operating risk, fraud risk, dan fiduciary risk. Bank Indonesia melalui PBI 5/8/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, menjelaskan defenisi risiko-risiko yang harus dihadapi Bank dalam aktivitas bisnisnya, walaupun mengadopsi Basel II namun terdapat perbedaan mengenai definisi tersebut. Adapun jenis risiko yang wajib dikelola bank adalah:
1. Risiko Kredit
Risiko kredit diartikan sebagai Risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya (PBI) atau Risiko kerugian yang berhubungan dengan kemungkinan bahwa suatu Counterparty akan gagal untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya ketika jatuh tempo (Basel II).
2. Risiko Pasar
Risiko yang muncul yang disebabkan oleh adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki oleh Bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar dalam hal ini adalah suku bunga dan nilai tukar serta termasuk perubahan harga option. Risiko pasar antara lain terdapat pada aktivitas fungsional Bank seperti kegiatan tresuri dan investasi dalam bentuk surat berharga dan pasar uang maupun penyertaan pada lembaga keuangan lainnya, penyediaan dana, dan kegiatan pendanaan dan penerbitan surat utang, serta kegiatan pembiayaan perdagangan.
3. Risiko Operasional.
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. Risiko operasional melekat pada setiap aktivitas fungsional Bank, seperti kegiatan perkreditan, treasury dan investasi, operasional dan jasa, pembiayaan perdagangan, pendanaan dan instrumen utang, teknologi sistem informasi dan sistem informasi manajemen dan pengelolaan sumber daya manusia.
4. Risiko Likuiditas
Risiko yang antara lain disebabkan karena bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh waktu. Risiko likuiditas dikategorikan menjadi:
a.Risiko Likuiditas Pasar, yaitu risiko yang timbul karena Bank tidak mampu melakukan Offsetting posisi tertentu dengan harga pasar karena kondisi likuiditas pasar yang tidak memadai atau gangguan pasar (market disruption)
b.Risiko likuiditas pendanaan, yaitu risiko yang timbul karena bank tidak mampu mencairkan asetnya atau memperoleh pendanaan dari sumber dana lain.

5. Risiko Hukum
Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan oleh adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna.
6. Risiko Reputasi
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank.
7. Risiko Strategik.
Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal.
8. Risiko Kepatuhan
Risiko yang disebabkan Bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Didalam prakteknya risiko kepatuhan melekat pada risiko bank yang terkait dengan peraturan perundang-undangan seperti risiko kredit terkait dengan ketentuan KPMM, KAP, PPAP, BMPK. Risiko Pasar terkait dengan Posisi Devisa Neto (PDN), risiko strategik terkait dengan ketentuan rencana kerja dan anggaran tahunan (RKAT) Bank dan risiko lainnya yang terkai dengan ketentuan tertentu.
Mencermati jenis-jenis risiko dan akibat yang ditimbulkannya bagi Bank, menuntut paradigma baru bagi Bank tentang risiko perbankan. Jika dulu kita hanya mengenal risiko kredit sekarang tidak cukup hanya dengan risiko kredit saja. Jika dulu pemantauan risiko hanyalah merupakan fungsi auditor, sekarang merupakan tanggung jawab Direksi. Jika dulu risiko hanya sebagai suatu faktor negatif yang harus dikontrol, sekarang risiko diterjemahkan sebagai suatu opportunity bagi bank.
Bercermin dari petikan perkataan Alan Greenspan : “...We should not forget that basic economic function of these regulated entities (banks) is to take risk. If we minimize risk taking in order to reduce failure rates to zero, we will, by defenition, have eliminated the purpose of banking system”. Pengelolaan risiko Bank bukan berarti menghilangkan risiko sampai menjadi nihil, tetapi lebih ditekankan kepada bagaimana mengukur, memonitor, mengelola dan mangembil keuntungan dan mengamankan bank dari risiko-risiko tersebut.

B. Manajemen Risiko Perbankan Satu Alternatif
Compliance (kepatuhan) atas regulasi hanya salah satu driver dalam bisnis perbankan atau bisnis apa pun. Tapi kalau hanya compliance yang jadi driver, maka sungguh tidak menarik bisnis itu, karena dari hari ke hari kita hanya memenuhi tuntutan regulasi. Beda dengan kalo kita punya driver untuk memanfaatkan sebuah opportunity bisnis yang lebih menantang, maka itu akan memberi motivasi lebih kuat, karena dibangkitkan dari internal diri atau perusahaan kita.
Dengan cara pandang seperti di atas, maka kalau sebuah bank memperbaiki pengelolaan risikonya hanya karena pengin mematuhi PBI No. 9/15/PBI/2007, selain capek psikologis juga tidak ada banyak nilai tambah yang akan dicapai. Sikap reaktif secara jangka panjang juga tidak akan menyehatkan kondisi manajemen TI. Pertanyaannya, kira-kira apa nilai tambah dari sebuah kepatuhan atas PBI No. 9/15/PBI/2007 dan bagaimana mencapainya?
Selain aspek kepatuhan, berikut ini adalah nilai tambah yang mungkin dapat dirasakan dengan memanfaatkan momentum PBI No. 9/15/PBI/2007:
1. Manajemen risiko hanya satu domain dalam Tata Kelola TI (IT Governance), sehingga keberadaan tuntutan manajemen risiko TI adalah peluang untuk memperbaiki IT Governance secara keseluruhan: Strategic Alignment, Resource Management, Performance Measurement & Value Delivery.
2. Kesempatan untuk menajamkan strategic aligment adalah kesempatan untuk menangkap kesempatan-kesempatan baru bisnis. Teknisnya, ini adalah kesempatan untuk melihat kembali Arsitektur TI kita apakah sudah mencerminkan strategi bisnis atau belum.
3. Kesempatan untuk menajamkan value delivery juga merupakan refleksi kemungkinan untuk meningkatkan efisiensi investasi TI kita.
Berikut ini poin-poin strategi yang dapat dipertimbangkan untuk menciptakan nilai tambah lebih dari implementasi PBI No. 9/15/PBI/2007:
1. Mandatory - Bank harus memiliki Framework Manajemen Risiko TI yang akan digunakan untuk melakukan assessment, menganalisa, mengukur dan memonitor risiko TI. Risk Register sebagai output akhir harus terjaga konsistensi pendekatannya, dan itulah gunanya ada framework. Keberadaan framework juga akan menjadi satu bahasa referensi antara orang TI, internal auditor, dan bahkan eksekutif.
2. Mandatory - Bank harus memiliki program tata kelola IT Security, yang berisi kebijakan, standar dan prosedur yang memadai atas area-area security utama yang tercantum di PBI No. 9/15/PBI/2007.
3. Mandatory - Bank harus memiliki struktur organisasi dan pembagian roles & responsbilities yang baik sehingga program tata kelola IT Security dapat dioperasionalkan secara normal, mulai level dewan komisaris, direksi, komite-komite, manajemen TI sampai dengan end-users.
4. Suggested – Manajemen TI menyusun IT Security Architecture yang akan menjadi blueprint pengelolaan security di bank bersangkutan. Ini akan menjadi perekat dari program tata kelola IT Security, Operasional IT Security dan pengelolaan program IT Security (awareness, education, risk management, planning).
• Satu poin spesial dalam Security Architecture adalah bagaimana kita mengelola pattern terkait dengan teknologi: infrastruktur dan aplikasi bisnis. Biasanya ini dikelompokkan dalam Technological Security Architecture.
• Berbagai kebijakan dan standar harus terintegrasi dalam arsitektur teknologi, karena tidak mungkin mengelola security secara manual saat ini. Berbagai tool dan teknologi harus dipastikan selalu mengikuti dinamika perubahan tata kelola security. Inilah pentingnya IT Security Architecture.
5. Suggested – Memperluas inisiatif pengembangan program tata kelola security menjadi inisiatif pengembangan Program Tata Kelola TI (IT Governance) dengan menggunakan rujukan standar atau best practice seperti ISO 20000 (ITSM), ISO 27000 (ISMS) atau COBIT. Pendekatan ini dalam jangka menengah-panjang akan membuat TI bank lebih adaptif di masa depan, selain memberikan competitive advantage dalam perspektif persaingan.

C. Tantangan Manajemen Risiko Bank Syariah
Porak-porandanya sistem perbankan nasional akibat dihantam krisis 1998 silam masih berdampak hingga hari ini. Lahirnya Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pada 2004 serta konsolidasi yang mungkin diwarnai dengan gelombang merger dan akusisi merupakan salah satu konsekuensi yang akan kita saksikan bersama-sama. Buruknya manajemen risiko (risk management) disebut-sebut sebagai salah satu faktor paling dominan yang menyebabkan banyak bank rontok dan memperparah keadaan pada saat krisis.
Saat ini, regulasi perbankan nasional terus bertambah dan konsolidasi perbankan tengah dijalankan. Salah satu tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan daya tahan bank terhadap segudang risiko yang menghantui. Topik manajemen risiko memang tengah naik daun. Dan, sekarang, lembaga keuangan, termasuk bank, setidaknya telah mengakui bahwa mereka harus menaruh perhatian besar pada cara-cara untuk memitigasi risiko agar bisa tetap mempertahankan daya saing, profitabilitas, dan loyalitas nasabah.
Bicara mengenai manajemen risiko bank tentu akan membawa kita pada Basel Accord II. Basel Accord II inilah yang menjadi dasar bagi Bank Indonesia (BI) dalam mengatur dan memberikan petunjuk pada bank umum untuk menerapkan manajemen risiko yang terintegrasi. Kini, bank-bank tengah berselancar pada penerapan manajemen risiko yang merupakan proses berkesinambungan serta memakan banyak pikiran, tenaga, dan uang.
Sekali lagi, Basel Accord II merupakan pijakan bagi perbankan dalam penerapan manajemen risiko. Tapi, Basel Accord II dibuat hanya untuk bank-bank konvensional. Jangan lupa, pemain dalam bisnis perbankan dunia dan nasional tidak hanya bank konvensional, tetapi juga telah diramaikan oleh bank dengan prinsip syariah yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Lantas, bagaimana penerapan manajemen risiko pada bank-bank syariah? Jika melongok sejarah penerapan manajemen risiko pada bank, BI sendiri baru mulai menerapkan aturan perhitungan capital adequacy ratio (CAR) pada bank sejak 1992--menjalankan rekomendasi Basel Accord I. Sementara itu, bank dengan prinsip syariah lahir pertama kali di Indonesia pada tahun yang sama.
Jadi, jika dilihat dari usia sistem perbankan syariah, ini tentu merupakan tantangan yang berat. Bank syariah pun akan sangat sulit mengikuti apa yang telah dijalankan perbankan konvensional dalam hal manajemen risiko. Kita semua mafhum, perbankan konvensional membutuhkan waktu yang panjang untuk membangun sistem dan mengembangkan teknik manajemen risiko sampai dengan hari ini.
Operasi bank syariah memiliki karakteristik dengan perbedaan yang sangat mendasar jika dibandingkan dengan bank konvensional. Tapi, manajemen risiko, tidak boleh tidak, juga harus diimplementasikan oleh bank syariah kalau tidak mau hancur dihantam risiko. Memang sebuah tantangan yang tak ringan untuk dihadapi.
Apa yang dapat dilakukan? Cara yang paling cepat dan efektif adalah mengadopsi sistem manajemen risiko bank konvesional. Tentu saja disesuaikan dengan karakteristik perbankan syariah. Inilah yang dilakukan BI sebagai regulator perbankan nasional yang akan menerapkan Basel Accord II. Cara ini juga diterapkan perbankan syariah.
Saat ini, Islamic Financial Services Board (IFSB) tengah merumuskan prinsip-prinsip manajemen risiko bagi bank dan lembaga keuangan dengan prinsip syariah. Pada 15 Maret 2005, exposure draft yang pertama telah dipublikasikan. Dalam executive summary draft tersebut jelas-jelas disebutkan bahwa kerangka manajemen risiko lembaga keuangan syariah mengacu pada Basel Accord II dan disesuaikan dengan karakteristik lembaga keuangan dengan prinsip syariah.
Secara umum, risiko yang dihadapi perbankan syariah bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian besar. Yakni, risiko yang sama dengan yang dihadapi bank konvensional dan risiko yang memiliki keunikan tersendiri karena harus mengikuti prinsip-prinsip syariah. Risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, dan risiko lainnya jelas harus dihadapi bank syariah. Tetapi, karena harus mematuhi aturan syariah, risiko-risiko yang menghantui bank syariah pun menjadi berbeda.
Bank syariah juga harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik (khas). Risiko unik ini muncul karena isi neraca bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional. Pendek kata, pola bagi hasil (profit sharing) yang dilakukan bank syariah menambah kemungkinan munculnya risiko-risiko lain. Withdrawal risk, fiduciary risk, dan displaced commercial risk merupakan contoh risiko unik yang harus dihadapi bank syariah.
Belum lagi pembiayaan syariah yang bervariasi tentu memiliki karakteristik risiko yang tak kalah unik. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi bank syariah untuk mencari teknik yang jitu dalam mengelola risiko-risiko tersebut.
Konsekuensinya, teknik-teknik yang digunakan untuk melakukan identifikasi, pengukuran, dan pengelolaan risiko pada bank syariah dibedakan menjadi dua jenis. Teknik-teknik standar yang digunakan bank konvesional, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip syariah, tentu bisa diterapkan pada bank syariah. Beberapa di antaranya, gap analysis, maturity matching, internal rating system, dan risk adjusted return on capital (RAROC).
Di sisi lain, bank syariah bisa mengembangkan teknik baru yang sudah tentu harus konsisten dengan prinsip-prinsip syariah. Ini semua dilakukan dengan harapan bisa membantali risiko-risiko lain yang sifatnya unik tersebut.
Survei yang dilakukan Islamic Development Bank (2001) terhadap 17 lembaga keuangan Islam dari 10 negara mengimplikasikan, risiko-risiko unik yang harus dihadapi bank syariah lebih serius mengancam kelangsungan usaha bank syariah dibandingkan dengan risiko yang dihadapi bank konvesional. Survei tersebut juga mengimplikasikan bahwa para nasabah bank syariah berpotensi menarik simpanan mereka jika bank syariah memberikan hasil yang lebih rendah daripada bunga bank konvesional.
Risiko unik inilah yang disebut dengan withdrawal risk. Lebih jauh, survei tersebut menyatakan, model pembiayaaan bagi hasil, seperti diminishing musyarakah, musyarakah, mudharabah, dan model jual-beli, seperti salam dan istisna, lebih berisiko ketimbang murabahah dan ijarah.
Jika bicara mengenai manajemen risiko, tentu bank akan berhadapan dengan pemilihan instrumen finansial untuk membantali risiko. Tantangan lain bagi bank syariah adalah keterbatasan instrumen-instrumen finansial, seperti derivatif dan instrumen pasar uang, yang bisa digunakan untuk melakukan lindung nilai terhadap risiko.
Masalahnya, penggunaan instrumen-instrumen tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini juga menjadi tantangan besar bagi kalangan perbankan syariah. Mereka harus dapat mengembangkan instrumen finansial yang sesuai dengan khasanah Islam. Apa mau dikata, penelitian-penelitian mengenai manajemen risiko dalam konteks bank syariah masih sangat terbatas. Tetapi, bukan berarti instrumen yang sesuai tidak bisa diciptakan. Kita lahir diberi akal dan pikiran. Jalan terbuka asal mau kerja keras dan kerja cerdas.
Kembali pada konteks bank syariah lokal. Penerapan manajemen risiko sudah pasti harus dilakoni dengan sungguh-sungguh. Proses manajemen risiko dengan segala teknik yang digunakan harus dipahami oleh unit manajemen risiko bank-bank syariah.
Karena BI dan IFSB mengacu pada aturan Basel Accord II, pemahaman yang matang mengenai manajemen risiko bank konvensional akan sangat membantu penerapan manajemen risiko di bank syariah. Waktu tidak banyak, sedangkan tantangan segunung. Bank syariah perlu bergerak cepat untuk dapat berselancar di atas penerapan manajemen risiko yang berkualitas.

D. Komparasi Risiko Pada Bank Syariah Dengan Bank Konvensional
Bisnis adalah suatu aktifitas yang selalu berhadapan dengan resiko dan return. Bank syari’ah dan bank konvensional adalah salah satu unit bisnis. Oleh karena itu, bank syari’ah dan bank konvensional juga menghadapi risiko yang ada dalam industri perbankan yaitu risiko pasar, kredit, likuiditas, operasional, hukum, reputasi, strategi dan ekuitas. Komponen risiko pasar dapat di kelompokkan sebagai risiko tingkat suku bunga, risiko nilai tukar dan risiko harga. Namun, karena karakteristik yang spesifik dari transaksi bank syari’ah yang kontrak transaksinya tidak didasarkan tingkat suku bunga, maka risiko perubahan tingkat suku bunga bukan merupakan komponen risiko pasar yang dihadapi bank syari’ah. Oleh karena itu di dalam makalah ini juga akan membahas perbandingan risiko pada bank syariah dengan bank konvensional.
Pada Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 disebutkan bahwa risiko-risiko yang terdapat pada perbankan, antara lain :
a. Risiko Kredit (credit risk)
Adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak memenuhi kewajibannya. Pada bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada bank syariah, tingkat balas jasa terukur oleh sistem bagi hasil dari usaha. Selain itu, persyaratan pengajuan kredit pada perbankan syariah lebih ketat dari perbankan konvensional sehingga risiko kredit dari perbankan syariah lebih kecil dari perbankan konvensional.
Oleh sebab itu pada sisi kredit, dalam aturan syariah, bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli murabahah.
Mekanisme seperti itu, akan mencegah kemungkinan dana kredit digunakan untuk transaksi spekulasi, atau untuk jual beli valas. Jika terjadi default, bank mudah mendapatkan dananya kembali karena ada aset yang nilainya jelas berupa sejumlah kredit yang dikucurkan. Dalam bank syariah, karakter nasabah (personal garansi) lebih dinomorsatukan, ketimbang cover guarantee berupa aset (Karim, 2003).
Dengan demikian debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya berjalan baik akan mendapat prioritas. Oleh sebab itu, risiko bank syariah sebetulnya lebih kecil dibanding bank konvensional. Bank syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di bank biasa.
b. Risiko Pasar
Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar. Pada perbankan syariah tidak terdapat risiko pasar dikarenakan perbankan syariah tidak melandaskan operasionalnya berdasar risiko pasar.
c. Risiko Likuiditas
Risiko antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan liabilitas. Apabila bank menahan aset seperti surat-surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka resiko likuiditasnya bisa lebih rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat- surat berharga membatasi pendapatan, karena tidak dapat memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan pembiayaan.
Faktor kuncinya adalah bank tidak dapat leluasa memaksimumkan pendapatan karena adanya desakan kebutuhan likuiditas. Oleh karena itu bank harus memperhatikan jumlah likuiditas yang tepat. Terlalu banyak likuiditas akan mengorbankan tingkat pendapatan dan terlalu sedikit akan berpotensi untuk meminjam dana dengan harga yang tidak dapat diketahui sebelumnya, yang akan berakibat meningkatnya biaya dan akhirnya menurunkan profitabilitas.
Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana.
Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.
d. Resiko Operasional (operational risk)
Menurut definisi Basle Committe, resiko operasional adalah resiko akibat dari kurangnya sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Resiko ini lebih dekat dengan keasalahan manusiawi (human error), adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko operasional .
e. Risiko Hukum
Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau lemahnya perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya kontrak. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko hukum.
f. Risiko Reputasi
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko reputasi.
g. Risiko Stratejik
Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko stratejik.
h. Risiko Kepatuhan
Risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko kepatuhan.

BAB III
PENUTUP

Simpulan
Risiko-Risiko Perbankan
Risiko dan bank adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, tanpa adanya keberanian untuk mengambil risiko maka tidak akan pernah ada bank, dalam artian bahwa bank muncul karena keberanian untuk berisiko dan bahkan bank mampu bertahan karena berani mengambil risiko. Namun jika risiko tersebut tidak dikelola dengan baik, bank dapat mengalami kegagalan bahkan pada akhirnya mengalami kebangkrutan.
Adapun jenis risiko yang wajib dikelola bank adalah: Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Operasional, Risiko Likuiditas, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko Kepatuhan dan Risiko Strategik.
Saat ini, regulasi perbankan nasional terus bertambah dan konsolidasi perbankan tengah dijalankan. Salah satu tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan daya tahan bank terhadap segudang risiko yang menghantui. Topik manajemen risiko memang tengah naik daun. Dan, sekarang, lembaga keuangan, termasuk bank, setidaknya telah mengakui bahwa mereka harus menaruh perhatian besar pada cara-cara untuk memitigasi risiko agar bisa tetap mempertahankan daya saing, profitabilitas, dan loyalitas nasabah.
Di dalam makalah ini juga di bahas perbandingan risiko pada bank syariah dengan bank konvensional. Pada Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 disebutkan bahwa risiko-risiko yang terdapat pada perbankan, antara lain: Risiko Kepatuhan, Risiko Stratejik, Risiko Reputasi, Risiko Hukum, Resiko Operasional (operational risk), Risiko Likuiditas, Risiko Pasar dan Risiko Kredit (credit risk).



Comments (0)

Posting Komentar