Manajemen dana bank syariah

Posted by amroe-iain surabaya | Posted in , , | Posted on 12.12

-->
BAB I
PENDAHULUAN
Bank merupakan badan usaha yang berperan sebagai penghimpun dana dari masyarakat. Dana yang terhimpun dari masyarakat.dalam bentuk kredit maupun dalam bentuk lainya. Kegiatan bank mengumpulkan dana disebut dengan kegiatan funding, sedangkan kegiatan menyalurkan dana kepada masyarakat oleh bank disebut dengan kegiatan financing atau lending. Dalam menjalankan kedua aktifitas besar tersebut, bank syariah harus menjalankanya sesuai dengan kaidah-kaidah perbankan yang berlaku dan berdasrkan fatwa yang dikeleuarkan oleh dewan syariah nasional, yaitu lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa bank syariah. Disamping itu harus memenuhi tuntutan kaidah islam, bank syariah juga harus memnuhi tuntutan kaidah hokum perbankan yang berlaku dan telah diatur oleh bank sentral.
Jika dilihat dari sisi fungsi bank syuariah menumpulkan dana dan menyalurkan dana kembali kepada masyarakat, maka bank syariah berfungsi sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak surplus kepada pihak minus. Sehingga terjadi keuntunga dan keseimbangan antara keduanya. Untuk memahami lebih dalam tentang aktifitas yang dijalankan oleh bank syariah, maka kami akan membahasnya dalam manajemen dana bank syariah yang ada pada makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Manajemen dana bank syariah
Manajemen dana bank syariah adalah upaya yang dilakukan oleh lembaga bank syariah dalam men gelola atau mengatur dana yang diterima dari aktifitas funding untuk disalurkan kepada aktifitas financing, dengan harapan bank yang bersangkutan tetap mampu memenuhi criteria-kriteri likuiditas, rentabilitas, dn solvabilitasnya. Sebagaimana halnya dengan bank konvensional, bank syriah juga mempunyai peran sebagai lembaga perantara (intermediary) antara satuan-satuan kelompok masyarakat atau unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana (surplus unit) dengan unit lain yang mengalami kekurangan dana (deficit unit). Melalui bank, kelebihan dan tersebut dapat disalurkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan dan memberikan manfaat kepada kedua belah pihak.
Bank berbasis bunga melaksanakan peran tersebut melalui kegiatanya sebagai peminjam dan pemberi pinjaman. Para pemilik dana tertarik untuk menyimpan dana di bank berdasarkan tingkat bunga yang dijanjikan. Demikian pula bank memberikan pinjaman kepada pihak-pihak yang memelurkan dana berdasarkan kemampuan mereka membayar tingkat bunga tertentu. Hubungan antara bank dengan nasabahnya adalah hubungan antara kreditur dan debitur.[1]
Berbeda dengan bank konvensional, hubungan antara bank syariah dengan nasabahnya bukan hubungan antara debitur dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan antara penyandang dana (shohibul maal) dengan pengelola dana (mudharib). Oleh karena itu tingkat laba bank syariah bukan saja berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang saham, tetapi juga berpengaruh terhadap bagi hasil yang dapat diberikan kepada nasabah kepada penyimpan dana. Dengan demikian kemampuan manajemen untuk melaksanakan fungsinya sebagai penyimpan harta, pengusaha dan pengelola investasi yang baik (professional investment manager) akan sangat menentukan kualitas usahanya sebagai lembaga intermediary dan kemampuan mengsilkan laba.[2]
  1. Fungsi dana bank syariah
Dalam menjalankan operasinya bank syarih memiliki empat fungsi sebagai berikut:[3]
    1. sebagai penerimaan amanah uantuk melakukan investasi dana-dana yang dipercayakan oleh pemegang rekening investasi/deposan atau dasar prinsip bagi hasil dengan kebijakan investasi bank.
    2. sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki pemilik dana atau shohibul maal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana.
    3. sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
    4. sebagai pengelola fungsi sosial
  1. Tujuan manajemen dana bank syariah
Manajemen dana mempunyai tujuan sebagai berikut:
    1. memperoleh profit yang optimal
    2. menyediakan akhir cair dan kas yang memadai
    3. penyimpan cadangan
    4. mengelola kegitan-kegiatan lembaga ekonomi dengan kebijakan yang pantas bagi seseorang yang bertindak sebagai pemelihara dana-dana orang lain.
    5. memnuhi kebutuhan masyarakat akan pembiayaan.
Dari tujuan-tujuan diatas bila diamati akan terdapat kontradiksi antara tujuan yang satu dengan yang lainya. Misalnya disatu sisi bertujuan untuk memperoleh laba yang sebesar-besarnya. Tentunya ini dapat direalisasi dengan memberikan pembiayaan yang sebesar-besarnya, namun disisi lain kita juga harus menyediakan dana kas untuk memenuhi kewajiban-kewajiban segera dibayar yang harus didukung oleh tersedianya dana yang memadai.
Bank syariah dirancang untuk melakukan fungsi pelanggan sebagai lembaga keuangan bagi para nasabah dan masyarakat. Untuk itu bank syariah harus mengelola dana yang dapat digolongakn sebagai berikut:
1. kekayaan bank syariah dalam bentuk:
a. kekayaan yang menghasilkan (aktiva produkif) yaitu pembiayaan untuk debitur serta penempatan dana di bank atau investasi lain yang menghasilkan pendapatan.
b. Keklayaan yang tidak menghasilkan yaitu kas dan investasi (harta tetap).
2. modal bank syariah berasal dari:
a. modal sendiri yaitu simpanan pendiri (modal), cadangan dan hibah, infaq atau shodakoh.
b. Simpanan atau hutang dari pihak lain
3. pendapatan uasaha keuangan bank syariah berupa bagi hasil atau mark up dari pembiayaan yang diberikan dan biaya administrasi serta jasa tabungan bank syariah
4. biaya yang harus dipikul oleh bank syariah yaitu biaya operasi, biaya gaji manajemen, kantor dan bagi hasil simpanan nasabah penabung.
Untuk mengatasi hal tersebut pihak bank syariah dapat melakukan kegiatan manajemen sebagai berikut:
1. rencana keuangan (budgeting)
2. batasan dan pengukuran atas:
a. struktur modal
b. pemeliharaan liquiditas
c. pengawasan efisiensi
d. rentabilitas
e. aktifa produktif (pembiayaan).
  1. Sumber-sumber dana bank syariah
Dana adalah uang tunai yang dimiliki atau dikuasasi oleh bank dalam bentuk tunai, atau aktiva lain yang dapat lain yang segera diubah menjadi uang tunai. Berasal dari pemilik bank itu sendiri juga berasal dari titipan atau pemyertaan orang lain atau pihak lain yang sewaktu-waktu atau pada waktu tertentu akan ditarik kembali baik sekaligus maupun secara berangsur-angsur.
Dalam pandangan syariah uang bukanlah merupakan suatu komoditi merupakan hanya merupakan alat untuk mencapai pertumbuhan nilai ekonomi. Uang harus dikaitkan dengam kegiatan ekonomi dasar (primary economic aktivities) baik menufaktur sewa-menyewadan lain-lain. Secara tidak langsung melalui penyertaan modal guna melakukan salah satu atau seluruh kegiatan tersebut.
Berdasarkan perinsip tersebut bank syaruah dapat menarik dana pihak ketiga atau masyarakat dalam bentuk:
a) Titipan (wadi’ah) yaitu simpanan yang dijamin keamanan dan pengembalianya (guranted deposit) teapi tanpa memperoleh imbalan atau keuntungan.
b) Partisipasi modal bagi hasil dan berbagi resiko (non guranted account) untuk investasi umum (general investment account atau mudharabah mutlaqoh) dimana bank akan membayar bagian keuntungan secara proporsional dengan portofolio yang didanai dengan modal tersebut
c) Investasi kusus (special investment account atau mudharabah muqayyadah) dimana bank bertindak sebagai manajer investasi intuk memperoleh fee, jadi bank tidak ikut berinvestasi sedangkan investor sepenuhnya mengambil resiko atau investasi itu.
Dengan demikian sumber dana bank syariah terdiri dari:
1. modal inti (core capital)
modal inti adalah modal sendiri, yaitu dana yang berasal dari para pemegang saham bank, yakni pemilik bank. Pada umumnya dana modal inti terdiri dari:
a. modal yang disetor oleh para pemegang saham, sumber utama dari modal perusahaan adalah saham
b. cadangan yaitu sebagian laba bank yang tidak dibagi, yang disisihkan untuk menutup timbulnya risiko kerugain dikemudian hari
c. laba ditahan, yaitu sebagian laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham, tetapi oleh para pemegang saham sendiri (melalui rapat umum pemegang saham) diputuskan untuk ditanam kembali dalam bank
2. kuasi ekuitas (mudharabah accaount)
bank menghimpun dana bagi hasil atas dasar prinsip mudaharabah yaitu akad kerja sama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan pengusaha (mudharib)umtuk melakukan suatu usaha bersama dan pemilik dana tidak boleh mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari.
Berdasarkan prinsip ini, dalam kedudukanya sebagai mudharib, bank menjadi jasa bagi para investor berupa:
a. rekening investasi umum dimana bank menerima simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi atas dana mereka dalam bentuk investasi berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqoh
b. rekening investasi khusus, dimana bank bertindak sebagai manajer investasi bagi nasabah institusi (pemerintah atau lembaga keuangan lain) atau nasabah korporasi untuk menginvestasikan dana mereka pada unit-unit usaha atau proyek yang mereka setujui
c. rekening tabungan mudhorobah, primsib mudhorobah juga bisa I gunakan untuk jasa pengelolaan rekening tabunangan. Bank syariah melayani tabungan mudhorobah dalam bentuk targeted savung di maksudkan untuk seatu pencapaian target kebutuan dalam jumlah dan atau jangka atau waktu tertentu reklening ini tidak di berikan fasilitas ATM.
3. titipan (wadi’ah) tau simpanan tanpa imbalan (non remurerated deposit)
Dana titipan adalah dana pihak ketiga pihak ketiga pada pihak bank, yang umumnya berupa giro atau tabungan. Pada umumnya motivasi utama orang menitipkan dana pada bank adalah untuk keamanan mereka dan memperoleh keluasan untuk menarik dananya kembali.
  1. Pengerahan dana masyarakat
Di dalam pengerahan dana dari masyarakat di laksanakan berdasarkan prinsip:
    1. prinsip al – wadiah.
Al – wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dan merupakan perjanjian yang bersifat percaya – mempercayai atau di lakukan atas dasar kepercayaan semata. Dalam kegiatan perbankan tetunya yang di maksud pihak nasabah yaitu, pihak yang menitipkan uangnya pada pihak bank, pihak bank harus menjaga titipan tersebut dan mengembalikanya apabila si nasabah menghendakinya, dasar hokum al – wadiah dalam al-quran adalah:
“sesunguhnya allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS.An – nisa :58)
“sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaknya yang di percayai itu menunaikan amanatnya (utangnya).
Di dalam pengunaan prinsib wadiah, di operasikan dalam bentuk:
(1). Rekening simpanan lancer atau giro (current account).
(2). Rekening simpanan bersarat atau tabungan berjangka (saving account).
a. Giro wadiah (current account)
Giro wadi’ah adalah prouk pendanaan bank syariah berupa simpenan dari nasabah dalam bentuk rekening giro (current account) untuk keamanan dan kemudahan pemakaianya. (current account) dari bank islam adalah sama dengan rekening giro dari bank konvesional. Hanya saja tidak di benarkan adanya pemberian bunga oleh bank kepada nasabah pemegang rekenig. Nasabah pemegang rekening giro bank syariah di beri buku cek maupun bilyet giro. Penarikan dana dari current account di lakukan dengan menerbitkan cek (untuk penerikan tunai )atau giro bilyet (untuk pemindahbukuan) oleh nasabah pemegang rekening yang bersangkutan. Nasabah boleh menarik dana simpenanya setiap waktu yang di kehendaki dan jumlahnya tidak di batasi sepanjang masih dalam jumlah saldo rekeningnya.
b. Tabungan Wadi’ah.
Tabungan wadi’ah adalah adalah produk pendanaan bank syariah berupa simpenan dari nasabah dalam bentuk rekening (saving account) untuk keamanan dan kemudahan pemakaianya, seperti giro wadi’ah tetapi tidak se fleksibel giro wadi’ah karena tidak dapat menarik dananya dengan cek.
Biasanya bank dapat mengunakan dana ini lebih leluasa di bandingkan dana dari giro wadi’ah, karena sifat penrikanya yang tidak sefleksibel giro wadi’ah sehingga bank mempunyai kesempatan lebih besar untuk mendapatkan keuntungan.
    1. Prinsib al – mudhorobah.
a. Tabungan Mudhorobah.
  1. Pengerahan dana masyarakat
  2. Penggunaan dana bank syariah



[1] Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta : UUP AMP YKPN, 2002), hal. 228
[2] Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Alvabet, 2002), hal. 52
[3] Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal 112

MERGER DAN AKUISISI BANK

Posted by amroe-iain surabaya | Posted in , | Posted on 11.55

MERGER DAN AKUISISI BANK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Informasi yang tersedia di pasar modal memiliki peranan yang penting untuk mempengaruhi segala macam bentuk transaksi perdagangan di pasar modal tersebut. Hal ini disebabkan karena para pelaku di pasar modal akan melakukan analisis lebih lanjut terhadap setiap pengumuman atau informasi yang masuk ke bursa efek tersebut. Informasi atau pengumuman-pengumuman yang diterbitkan oleh emiten akan mempengaruhi para (calon) investor dalam mengambil keputusan untuk memilih portofolio investasi yang efisien.
Menurut Jogiyanto (2000:351), para pelaku pasar modal akan mengevaluasi setiap pengumuman yang diterbitkan oleh emiten, sehingga hal tersebut akan menyebabkan beberapa perubahan pada transaksi perdagangan saham, misalnya adanya perubahan pada volume perdagangan saham, perubahan pada harga saham, bid/ask spread, proporsi kepemilikan, dan lain-lain. Hal ini mengindikasikan bahwa pengumuman yang masuk ke pasar memiliki kandungan informasi, sehingga direaksi oleh para pelaku di pasar modal. Suatu pengumuman memiliki kandungan informasi jika pada saat transaksi perdagangan terjadi, terdapat perubahan terutama perubahan harga saham.
Tujuan mengadakan investasi adalah untuk memperoleh penghasilan atau kembalian atas investasi. Penghasilan atau kembalian atas investasi tersebut dapat berupa penerimaan kas dan atau kenaikan nilai investasi. Penerimaan kas untuk saham yaitu dalam bentuk deviden kas, sedangkan kenaikan nilai investasi tercermin dalam kenaikan harga saham, yaitu semakin tinggi harga saham berarti semakin meningkat nilai kekayaan pemegang saham. Selain itu, kenaikan nilai investasi juga dapat dilihat dari peningkatan volume perdagangan saham.
Pada dasarnya setiap perusahaan didirikan untuk jangka waktu yang tidak terbatas, sehingga pengembangan usaha merupakan rencana jangka panjang perusahaan. Pengembangan perusahaan dapat dilakukan dengan cara perluasan usaha (business expansion) yang disebut juga sebagai perluasan secara internal, ataupun perluasan usaha secara eksternal berupa penggabungan usaha (business combination).
Dalam Accounting Principles Board (APB) Opinion No. 16 disebutkan bahwa pengembangan usaha terjadi jika satu badan usaha dengan satu atau lebih badan usaha yang lain melakukan usaha secara bersama-sama dalam satu kesatuan akuntansi. Dalam akuntansi dikenal tiga macam bentuk penggabungan usaha, yaitu konsolidasi, merger, dan akuisisi. Strategi merger dan akuisisi merupakan salah satu alternatif untuk perluasan usaha tersebut. Dengan penggabungan dua perusahaan atau lebih, maka akan menjadi lebih mungkin untuk saling menunjang kegiatan usaha. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh akan lebih besar dibandingkan jika mereka melakukan usaha sendiri-sendiri.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah yang telah penulis paparkan maka dapat disimpulkan beberapa permasalahan, sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan merger dan akuisisi?
2. Macam-macam merger dan akuisisi!
3. Sebab dilakukannya merger dan akuisisi!













BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Merger dan Akuisisi
Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia memberikan pengertian atau definisi merger dengan rumusan kalimat yang hampir seragam. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menggunakan istilah “Penggabungan” sebagai pengganti terminologi “Merger”. UUPT memberikan pengertian penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
Pengertian penggabungan tersebut kemudian secara khusus dalam disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tanggal 24 Pebruari 1998 mengenai Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas, yang bunyi lengkapnya dikutip sebagai berikut:
“Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar.”
Khusus bagi perseroan terbatas yang bergerak dalamlapangan usaha perbankan, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank, istilah yang digunakan adalah merger, dengan pengertian sebagai berikut: “Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu”.
Penggabungan pasar modal sendiri memakai istilah penggabungan usaha, dimana peraturan tentang penggabungan usaha atau peleburan usaha perusahaan public atau emiten yang termaktub dalam keputusan Bapepam Nomor Kep-52/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997 memberikan pengertian penggabungan sebagai berikut: “Penggabungan usaha adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri denga perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar”.
Akuisisi berasal dari sebuah kata dalam bahasa Inggris yaitu acquisition yang berarti pengambil alihan. Sedangkan menurut istilah Akuisisi adalah pengambil alihan seluruh atau sebagian besar saham suatu perusahaan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian perusahaan tersebut ke perusahan lain. Perusahaan yang melakukan inisiatif dan memberikan penawaran kepada perusahaan lain dalam usaha merger ataupun akuisisi tersebut disebut “Bidding Firm”. Sedangkan perusahaan yang menerima penawaran merger atau akuisisi dari perusahaan lain disebut sebagai “Target Firm”.
Merger dan akuisisi perusahaan perbankan kembali marak terjadi di Indonesia pada akhir-akhir ini. Sukses merger dari bank papan atas seperti Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata telah merangsang bank-bank pada papan menengah seperti Bank Haga dan Bank Hagakita untuk bergabung dengan pihak bank asing Rabobank. Dan terakhir ini kita melihat adanya minat dari bank-bank kecil menengah (Bank Harta, Bank Mitraniaga, Bank Harmoni) untuk melakukan strategi serupa, sebagaimana diuraikan pada artikel Fahmi Achmad pada Bisnis Indonesia 14 Nopember 2006.
Strategi merger dan akuisisi merupakan salah satu bentuk strategi populer, yang awalnya naik daun pada era tahun 1970an. Proses ini didorong oleh 3 faktor utama:
1. Semakin menyatunya sistem perekonomian regional dan perekonomian dunia.
2. Adanya ekspansi perusahaan-perusahaan MNC ke berbagai negara,
3. Dan berbagai terobosan teknologi informasi dan telekomunikasi setelah tahun 1980 yang memudahkan proses alih informasi dan kapital.
Pada kasus industri perbankan, krisis perekonomian yang terjadi di wilayah ekonomi Asia Timur dan Asia Tenggara pada tahun 1997 telah membawa dampak terjadinya kemelut di industri perbankan di dalam negeri. Cukup banyak lembaga perbankan yang menghadapi permasalahan dan bahkan kemudian kolaps akibat krisis tersebut.
Upaya penyelamatan dari bank-bank yang masih bertahan kemudian tertolong dengan dijalankannya kebijakan “restrukturisasi finansial”dan strategi “merger dan akuisisi”.
Proses merger dan akuisisi di industri perbankan memang memiliki baik dampak yang positip maupun dampak yang negatip, tergantung dari perspektif kita memandangnya. Keberhasilan upaya merger dan akuisisi memerlukan keuletan dan jalan yang cukup berliku bagi berbagai pihak yang ingin sukses menerapkan kebijakan ini.
Merger dan akuisisi berdasarkan aktivitas ekonomik dapat diklasifikasikan dalam lima tipe yaitu:
1. Merger horisontal.
Merger horisontal adalah merger antara dua atau lebih perusahaan yang bergerak dalam industri yang sama.
2. Merger vertikal.
Merger vertikal adalah integrasi yang melibatkan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam tahapan-tahapan proses produksi atau operasi.
3. Merger konglomerat.
Merger konglomerat adalah merger dua atau lebih perusahaan yang masing-masing bergerak dalam industri yang tidak terkait.
4. Merger ekstensi pasar.
Merger ekstensi pasar adalah merger yang dilakukan oleh dua atau lebih perusahaan untuk secara bersama-bersama memperluas area pasar.
5. Merger ekstensi produk.
Merger ekstensi produk adalah merger yang dilakukan oleh dua atau perusahaan untuk memperluas lini produk masing-masing perusahaan.

B. Dampak Langsung dan Tidak Langsung
Strategi merger dan akuisisi yang terjadi di industri perbankan dapat memberikan dampak langsung pada perusahaan yang melakukan proses merger. Secara mikroekonomi, penerapan strategi ini ternyata disamping dapat memberikan pengaruh yang positif; dapat juga memberikan rekaman hitam dalam bentuk kekecewaan, konflik dan bahkan kegagalan dari proses itu sendiri. Pada tingkat makro ekonomi, sementara ini strategi merger dan akuisisi belum memberikan dampak positif yang besar.
Rencana merger Bank Niaga & LippoBank tidak mengejutkan kalangan perbankan. Sebab, aksi korporasi itu sudah bisa dibaca pasar sejak lebih setahun lalu ketika Bank Indonesia (BI) memperkenalkan paket kebijakan single presence policy (SPP).
Bank Niaga & LippoBank menjadi anak usaha Khazanah Nasional Berhad Malaysia. Hal yang sama juga terjadi pada Bank Internasional Indonesia (BII) dan Bank Danamon. Sejak awal kalangan perbankan pun menduga-duga kebijakan SPP lahir karena untuk membatasi dominasi bank-bank milik Singapura dan Malaysia yang mulai menggurita di Indonesia.
Namun entah tidak sadar atau memang sengaja, kebijakan SPP ini juga mengenai bank-bank BUMN yang tentu tidak mudah diterapkan karena banyak kepentingan politik dan sosial yang rumit. Pertanyaannya, apakah rencana merger Bank Niaga-LippoBank dan BII-Danamon benar-benar terjadi?.
Tidak hanya itu, apakah gelombang merger akan terjadi seperti nafsu BI terhadap bank-bank yang kurang modal sejalan dengan tujuan Arsitektur Perbankan Indonesia (API)? Ataukah merger hanya enak diomongkan dan sulit direalisasi?
Sejak krisis perbankan tahun 1989, ada tiga peristiwa merger yang paling besar, yaitu merger empat bank BUMN menjadi Bank Mandiri, merger sembilan bank menjadi Bank Danamon, dan merger empat bank menjadi Permata Bank.
Selain itu, ada merger bank yang ukurannya lebih kecil,yaitu yang sekarang menjadi Bank Century atau setelah BI memperkenalkan konsep API tahun 2004. Selebihnya peristiwa merger hanyalah omong besar dari para pemilik bank dan para banker untuk sekadar "menyenangkan" BI.
Prinsip merger yang sering dianut kalangan bisnis antara lain jika dua ditambah dua hasilnya bukan empat, tetapi bisa lima atau enam,bahkan bisa 10, karena merger merupakan sebuah sinergi. Nah, pertanyaannya mengapa bank-bank sulit merger, padahal begitu dahsyat manfaatnya? Bahkan,BI sendiri sudah demikian bernafsunya menekan bank-bank untuk merger, baik lewat kebijakan permodalan maupun SPP.

C. Sebab Merger dan Akuisisi
Banyak sebab mengapa merger sulit dilakukan. Namun berdasarkan catatan Biro Riset InfoBank, ada tiga sebab mengapa merger sulit dilakukan perbankan di Indonesia.
Pertama, perbedaan visi,misi,dan budaya kerja tiap bank, yang tentu membutuhkan waktu penyesuaian. Karena itu sulit sekali terjadi fleksibilitas dalam memadukan kapabilitas, financial, dan infrastruktur. Jadi, merger yang dipaksakan antar bank dengan pemilik yang beragam akan sulit menghasilkan bank yang sehat.
Kedua, konflik kepentingan antarpemilik bank sekaligus ada kebanggaan memiliki bank sehingga timbul rasa gengsi untuk merger. Ada pernyataan, lebih baik menjadi raja di bank kecil dibandingkan menjadi leher di bank besar hasil merger. Jadi, langkah merger dinilai akan menghilangkan pengaruh dan reputasi pemilik bank.
Ketiga, masalah perpajakan yang sangat memberatkan.Tepatnya tidak adanya insentif dalam soal perpajakan dalam rangka merger atau insentif lain seperti kemudahan untuk melakukan ekspansi atau kemudahan dalam membuka cabang. Soal perpajakan inilah yang boleh jadi menjadi sangat urgen diselesaikan karena selama ini masih menjadi tarik-menarik antara BI dan Departemen Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Merger perbankan di Indonesia bukan berita baru. Merger sering dan bahkan teramat sering terjadi antarbank yang sudah dimiliki oleh satu tangan. Plus dimiliki oleh pemerintah seperti Bank Mandiri, Bank Danamon, dan PermataBank (sebelum didivestasi).
Jika kepemilikan sama, akan mudah menghilangkan faktor pertama dan kedua. Sementara jika kepemilikan sama oleh pemerintah, tentu lebih mudah dalam soal perpajakan karena itu hanya menyangkut kantong kanan dan kantong kiri.
Nah, berdasarkan kenyataan di atas, merger secara suka rela yang berbeda kepemilikan dapat dipastikan sulit dilakukan. Prediksinya, gelombang merger dapat dipastikan tidak akan terjadi hingga 2010 atau tahun terakhir konsolidasi. Namun, jika insentif merger diberikan, bisa jadi merger suka rela akan terjadi.
Bahkan, antar pemilik bank yang berbeda sekalipun karena insentif merger seperti perpajakan menjadi sangat merangsang pemilik bank. Namun, jika tidak diberi insentif, boleh jadi yang berlangsung adalah merger oleh satu kepemilikan seperti Bank Niaga-LippoBank dan Bank Danamon-BII.
Diperkirakan merger Bank Niaga-LippoBank akan mulus karena selain pemiliknya ingin melakukan penggabungan agar menjadi bank yang besar, keduanya juga dapat bersinergi: LippoBank kuat di pasar ritel,Bank Niaga kuat di pasar korporasi dan consumer banking.
Lippobank punya dana murah dan Bank Niaga lebih banyak dana mahalnya. Sementara merger BII-Bank Danamon diperkirakan tidak akan terjadi jika tidak ada insentif pajak. Selain karena valuasi saham antarkedua bank berbeda jauh,juga tidak banyak yang bisa disinergikan dan terkena pajak pula. Diperkirakan BII akan dilepas oleh Temasek Group karena jika dimerger paksa dengan Bank Danamon tidak akan mempunyai sinergi bisnis yang berarti.
Pasar keduanya sama dan kapabilitasnya juga hampir sama. Namun, jika keduanya benar-benar melakukan merger, perlu dipikirkan dampak terhadap karyawannya. Langkah merger selalu diikuti dengan PHK bagi karyawannya. Khususnya untuk karyawan supporting di kantor pusat. Tapi PHK karyawan bank bukan sesuatu yang ditakutkan karena selalu berakhir dengan golden handshake, salam tempel atau pesangonnya senantiasa besar jika terjadi PHK karyawan bank.
Sejalan dengan merger perlu diawasi pula tentang pengalihan aset atau penghapusan kredit, khususnya kredit-kredit yang satu grup. Merger biasanya dapat pula menimbulkan moral hazard dalam penggabungan aset-aset bank.
Untuk itu, perlu pengawasan yang lebih ketat dan kejelian Bank Indonesia. Akhirnya merger hanya akan terjadi pada bankbank yang dimiliki oleh satu grup atau satu kepemilikan. Sulit rasanya terjadi secara suka rela di antara pemilik bank yang berbeda. Jika insentif merger berupa perpajakan atau kemudahan dalam operasional bank, merger hanyalah sebuah omong besar. Itulah dilemanya sekarang. Di satu sisi BI ingin merger untuk memudahkan pengawasan dan penguatan struktur modal, di sisi lain Depkeu tidak ingin kehilangan pemasukan berupa pajak merger. Jika demikian,merger lebih mudah diomongkan di negeri yang mahal untuk urusan koordinasi ini. Atau, karena memang kebijakan konsolidasi perbankan yang diluncurkan BI ini tidak market frienly, hanya BI sendiri yang tahu tujuannya sementara bank-bank sendiri tidak tahu tujuan pentingnya.
Bahkan, konsolidasi perbankan cenderung tidak menjawab kebutuhan bank-bank sekarang ini, yang masih gemar membeli Sertifikat Bank Indonesia. (SBBI)

D. Pengaruh Mikroekonomi
Begitu dua atau lebih organisasi perbankan melakukan strategi merger maka akan terjadi perubahan tingkah laku dari perusahaan gabungan tersebut.
Dampak positip yang sering dilaporkan adalah:
1. Dimungkinkannya pertukaran cadangan cash flow secara internal antar perusahaan yang melakukan merger, sehingga bank hasil merger dapat memanage risiko likuiditas dengan lebih fleksibel.
2. Diperolehnya peningkatan modal perusahaan (biasanya CAR akan meningkat tetapi tidak terlalu cukup tinggi) dan adanya keunggulan dalam memanage biaya akibat bertambahnya skala usaha.Efisiensi perusahaan dapat dilakukan lebih lanjut, khususnya dalam efisiensi biaya provisi kredit.
3. Dicapainya keunggulan market power dalam persaingan, yang kemudian dapat memperbesar margin bunga pinjaman.
Tetapi proses merger itu sendiri dapat juga memberikan pengaruh negatif berikut ini:
• Karena proses merger biasanya dilakukan atas dorongan untuk cepat terselesaikannya kemelut keuangan di salah satu bank peserta, maka harga penjualan sahamnya cenderung akan dinilai dibawah harga pasar yang wajar.
• Proses merger biasanya diikuti dengan peningkatan ketidakpastian pada pihak Direksi, manajer dan karyawan.
• Proses merger perbankan nasional di Indonesia biasanya diikuti dengan pengurangan jumlah pegawai dan staf kurang profesional di perusahaan perbankan hasil merger.
• Terjadinya benturan kepentingan, kondisi saling curiga dan bahkan konflik diantara para anggota komisaris dan direksi. Hal ini terjadi jika bank hasil merger tersebut dikuasai oleh lebih satu pemegang saham pengendali. Sebagian anggota komisaris dan direksi yang ada cenderung untuk berlomba mewakili kepentingan masing-masing pemilik dari bank hasil merger dengan menunjukkan prestasi kelompoknya masing-masing.
• Kegiatan merger dalam dua tahun pertama cenderung diikuti dengan strategi efisiensi; sehingga hal ini akan mengurangi semangat dan kreativitas dari sebagian pihak Direksi dan staf profesional. Jika hal ini berlanjut cukup lama maka biasanya akan diikuti dengan proses exodus para manager menengah yang profesional dan inovatif.
• Benturan budaya perusahaan tidak dapat dielakkan; sehingga tentunya perusahaan hasil merger akan mengalami penurunan dalam jangka pendek.

E. Pengaruh Makro
Di beberapa negara berkembang lainnya di dunia, strategi merger biasa digunakan untuk memperkuat dan memperluas kepemilikan Pemerintah pada industri perbankan. Alasannya pelaksanaan strategi ini agar pemerintah dapat menjalankan program pembangunan dengan dukungan lembaga perbankan yang dikendalikan.
Strategi ini ternyata tidak sepenuhnya berhasil, karena yang terjadi adalah mismanajemen dalam pengelolaan organisasi bank merger yang semakin besar, dengan laporan banyaknya kejadian kasus , penunjukan rekanan teman sendiri, inefisiensi penggunaan anggaran promosi dan anggaran pengembangan, serta diketemukannya berbagai kasus korupsi. Kasus di salah satu bank hasil merger di tanah air, membuktikan sebagian dari dugaan ini. Kurangnya pengawasan dari pihak Dewan Komisaris, yang melimpahkan kewenangan yang lebih besar pada pihak Direksi untuk memutuskan kelayakan kredit usaha pada jumlah yang besar, telah membawa akibat meningkatnya angka NPL bank tersebut.
Dampak negatif terjadi karena tidak transparannya perusahaan merger milik pemerintah yang tidak diawasi sepenuhnya oleh publik.
Pada perspektif yang lain, strategi merger dan akuisisi dipandang sebagai alat untuk memperkuat struktur kapital perbankan secara makro di lokasi operasi peserta bank merger.Tujuan ini dilaksanakan agar tercapai proses penguatan landasan keuangan perbankan nasional menuju konvergensi. Dalam kaitan ini Bank Indonesia beberapa tahun terakhir telah merubah kebijakan publiknya untuk mengundang partisipasi asing dalam proses merger bank-bank nasional di Indonesia – sehingga diharapkan akan tercapai arsitektur pengaturan kapitalisasi perbankan secara bentuk “kerucut piramida”. Kebijakan ini tentunya perlu dilakukan secara hati-hati, dan bahkan jika perlu dikaji ulang, mengingat bukti-bukti empiris yang belum mendukung sepenuhnya dugaan tersebut.
Internasionalisasi kepemilikan asing dalam arsitektur perbankan nasional memiliki potensi yang akan memberikan dampak negatip pada perekonomian nasional, mengingat beberapa potensi ancaman berikut ini:
1. Kemungkinan timbulnya kesenjangan antara proses akumulasi dana pihak ketiga dan proses penyalurannya untuk kepentingan perekonomian lokal dan nasional.
2. Kurangnya partisipasi bank asing dalam pendanaan kegiatan usaha berskala besar di tanah air, seperti pendanaan program pembangunan infrastuktur, mengingat perhitungan managemen resiko yang sangat ketat yang mereka jalankan.
3. Pada saat kondisi politik di dalam negeri menghadapi skenario kemelut dan krisis, maka cadangan bank-bank asing di Indonesia akan terjadi.
4. Bank asing akan memindahkan sementara waktu dana yang terhimpun di dalam negeri ke anak-anak perusahaan holding yang lokasinya terdekat, seperti di Singapura dan Hongkong.
5. Tingkat multiplier penyerapan tenaga kerja di bank milik asing akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan angka-angka multiplier pada perusahaan perbankan milik swasta domestik dan perusahaan BUMN.
Atas dasar kondisi tersebut dan kemungkinan rapuhnya peta politik di dalam negeri pada tahun-tahun mendatang, maka seharusnya Pemerintah meninjau kembali aturan tentang kepemilikan asing dalam industri perbankan nasional. Kebijakan membatasi porsi kepemilikan asing dalam perbankan nasional di tanah air merupakan strategi kebijakan tambahan untuk terlaksananya proses merger secara aman di Indonesia.

F. Kunci Sukses
Strategi merger dan akuisisi dapat berjalan sukses apabila memenuhi persyaratan berikut:
1. Dilakukan dengan memanfaatkan keunggulan dan menutupi kekurangan yang dimiliki oleh bank peserta biasanya menyebabkan kegagalan proses merger dan akuisisi.
2. Bank peserta perlu memiliki kemiripan budaya dan falsafah perusahaan yang tidak jauh bertolak belakang.
3. Bank peserta memiliki pimpinan perusahaan yang berdedikasi dan mampu menyelesaikan konflik-konflik secara cepat, bijak dan arif; serta tidak bersifat otoriter. Bank peserta memiliki visi dan misi yang dapat dijalankan oleh bank yang telah digabung. Lebih baik lagi jika pada masing-masing bank memiliki kemiripan fokus bisnis.
4. Proses implementasi pasca merger perlu dilakukan dengan melakukan proses harmonisasi produk dan layanan baru, pemantapan dedikasi karyawan dan pembentukan platform dan sistem prosedur yang seragam dan efisien.
Proses stabilisasi setelah merger akan memakan waktu cukup lama sekitar 2-3 tahun, dan biarkanlah proses tersebut dilakukan dengan baik dan sempurna, tanpa cepat-cepat melakukan proses divestasi lanjutan.











BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat penulis paparkan beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia memberikan pengertian atau definisi merger dengan rumusan kalimat yang hampir seragam. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menggunakan istilah “Penggabungan” sebagai pengganti terminologi “Merger”. UUPT memberikan pengertian penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
2. Akuisisi berasal dari sebuah kata dalam bahasa Inggris yaitu acquisition yang berarti pengambil alihan. Sedangkan menurut istilah Akuisisi adalah pengambil alihan seluruh atau sebagian besar saham suatu perusahaan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian perusahaan tersebut ke perusahan lain. Perusahaan yang melakukan inisiatif dan memberikan penawaran kepada perusahaan lain dalam usaha merger ataupun akuisisi tersebut disebut “Bidding Firm”. Sedangkan perusahaan yang menerima penawaran merger atau akuisisi dari perusahaan lain disebut sebagai “Target Firm”.
3. Macam-macam merger dan akuisisi
1. Merger horisontal.
2. Merger vertikal.
3. Merger konglomerat.
4. Merger ekstensi pasar.
5. Merger ekstensi produk.


DAFTAR PUSTAKA

Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), Jakarta, CV Eko Jaya, Cet. Ke-1, 1998
Pandji Anoraga, Manajemen Bisnis, Jakarta, Rineka Cipta, 1997
T. Hani Handoko, Manajemen, Yogyakarta, BPFE, 1994
Muhamad, Bank Syari’ah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman, Yogyakarta, Ekonisia, 2003
http://digilib.petra.ac.id.


STRATEGI BANK UNTUK MENGHINDARI KE PAILITAN (BANGKRUT)

Posted by amroe-iain surabaya | Posted in , , | Posted on 11.54

STRATEGI BANK UNTUK MENGHINDARI
KE PAILITAN (BANGKRUT)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam sistem ekonomi, uang dan perbankan memiliki peranan penting. Bahkan ada suatu pernyataan yang menyatakan : kalau kita ingin menguasai secara total perekonomian suatu bangsa, maka kuasailah sistem perbankannya. Jadi antara uang dan bank merupakan dua hal penting, yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem ekonomi suatu negara.
Bisnis perbankan, yang merupakan salah satu bisnis jasa, pada saat ini berada dalam persaingan yang amat ketat. Untuk menang dalam persaingan itu, diperlukan keunggulan sumber daya masing-masing bank. Dengan keunggulan sumberdayanya, sebuah bank akan mampu bersaing agar bank tersebut tidak mengalami kefailitan (bangkrut).
Dari paparan latar belakang masalah di atas, maka dapat diketahui bahwa masalah yang ingin dipelajari adalah mengenai “ STRATEGI BANK UNTUK MENGHINDARI KE PAILITAN (BANGKRUT) “

B. Perumusan Masalah.
Agar lebih praktis dalam menguraikan permasalahan, maka perlu adanya rumusan masalah, yang mana rumusan masalah dalam studi ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Penjelasan Tentang Perbankkan
2. Risiko-Risiko Perbankan
3. Stategi Untuk Menghindari Kepailitan
4. Tahapan Perencanaan Strategi
5. Macam-Macam Strategi

BAB II
PEMBAHASAN

A. Penjelasan Tentang Perbankkan
Dalam sistem ekonomi, uang dan perbankan memiliki peranan penting. Bahkan ada suatu pernyataan yang menyatakan: kalau kita ingin menguasai secara total perekonomian suatu bangsa, maka kuasailah sistem perbankannya. Jadi antara uang dan bank merupakan dua hal penting, yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem ekonomi suatu negara.
Bisnis perbankan, yang merupakan salah satu bisnis jasa, pada saat ini berada dalam persaingan yang amat ketat. Untuk menang dalam persaingan itu, diperlukan keunggulan sumber daya masing-masing bank. Dengan keunggulan sumberdayanya, sebuah bank akan mampu bersaing baik di bidang lending maupun funding.
Tetapi yang disayangkan adalah dengan kemunculan dari lembaga keuangan tersebut tidak disertai dengan infrastruktur yang cukup mendukung, seperti kebijakan yang sempurna, arah kegiatan usaha, dan ketersediaan sumber daya manusia yang profesional. Suatu bank bagi pemiliknya, lebih berfungsi sebagai fasilitator dalam memobilisasi dana masyarakat untuk kepentingan usahanya
Banyak bank tidak memiliki strategi usaha yang jitu dan terarah. Penyaluran kredit dilakukan serampangan tanpa melalui strategi segmentasi/distribusi dan diversifikasi yang jelas. Lebih fatal lagi, ternyata banyak bank yang beroperasi dengan sistem dan prosedur operasi seadanya tanpa disertai mekanisme pengawasan yang memadai.

B. Risiko-Risiko Perbankan
Risiko dan bank adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, tanpa adanya keberanian untuk mengambil risiko maka tidak akan pernah ada bank, dalam artian bahwa bank muncul karena keberanian untuk berisiko dan bahkan bank mampu bertahan karena berani mengambil risiko. Namun jika risiko tersebut tidak dikelola dengan baik, bank dapat mengalami kegagalan bahkan pada akhirnya mengalami kebangkrutan.
Risiko, khususnya di dalam konteks bisnis (red Bank dan lembaga keuangan), tidaklah selalu mewakili sesuatu hal yang buruk. Kenyataannya Risiko bisa mengandung di dalamnya suatu peluang yang sangat besar bagi mereka yang mampu mengelolanya dengan baik. Hal itu mungkin yang melatarbelakangi mengapa kalimat “Saya akan ambil Risiko tersebut,” dalam bahasa Inggris lebih banyak dinyatakan dengan, I will take that chance.
Secara sederhana J.P Morgan mengartikan risiko sebagai suatu ketidak pastian dari Net Return yang terjadi, atau secara komprehensif risiko merupakan suatu potensi terjadinya peristiwa (event) yang dapat memberikan pengaruh negatif terhadap nilai suatu portofolio aset yang dapat diukur dengan probabilitas tertentu dalam rentang waktu yang diketahui.
Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa gampangnya risiko hari ini bisa diterjemahkan sebagai potensi kerugian esok hari, akan tetapi malangnya, risiko tidaklah bisa diukur seperti menghitung pendapatan dan biaya yang harus dikeluarkan bank karena risiko tidaklah bersifat “tangible”. Pengukuran risiko lebih merupakan hal yang konseptual dan merupakan tantangan dalam menerapkan praktik perbankan berbasis risiko. Jadi untuk menilai risiko yang “intangible”, mendefinisikannya dengan benar merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar.
Meski keberadaan lembaga keuangan sangat penting bagi perekonomian, namun tetap saja bisnis di sektor keuangan menimbulkan resiko, yang jika tidak diantisipasi akan menimbulkan serangan balik bagi perekonomian. Perbankan adalah bisnis yang memiliki tingkat exposure tinggi. Sebagai lembaga intermediasi keuangan, bisnis bank harus menghadapi sejumlah risiko.
Sejumlah ekonom mengklasifikasikan berbagai risiko yang terkait dengan perbankan. Gardener (1986) melaporkan bahwa risiko bank terdiri dari risiko umum (general risk), risiko internasional (international risk) yang dicerminkan melalui risiko mata uang (currency risk), dan risiko kesehatan finansial (solvency risk). Risiko umum (general risk) adalah risiko fundamental yang pasti dihadapi oleh semua bank yang meliputi risiko likuiditas (liquidity risk), risiko suku bunga (interest rate risk), dan risiko kredit (credit risk). Votja (1973) sebelumnya memiliki pandangan yang berbeda tentang risiko bank ini. Menurutnya, risiko dapat diklasifikasikan menjadi credit risk, investment risk, liquidity risk, operating risk, fraud risk, dan risiko gadai (fiduciary risk). Sedangkan Maisel mengklasifikasikan risiko bank menjadi interest rate risk, operating risk, dan fraud risk (Maisel, 1981). Maisel berpendapat bahwa interest rate risk memberikan kontribusi secara signifikan dalam pembentukan terjadinya insolvency.
Dengan berbagai pandangan ini, maka dapat disimpulkan bahwa risiko perbankan terdiri dari credit risk, interest rate risk, currency risk, liquidity risk, solvency risk, market risk, currency risk, investment risk, operating risk, fraud risk, dan fiduciary risk.
Bank Indonesia melalui PBI 5/8/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, menjelaskan defenisi risiko-risiko yang harus dihadapi Bank dalam aktivitas bisnisnya, walaupun mengadopsi Basel II namun terdapat perbedaan mengenai definisi tersebut. Adapun jenis risiko yang wajib dikelola bank adalah:
1. Risiko Kredit
Risiko kredit diartikan sebagai Risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya (PBI) atau Risiko kerugian yang berhubungan dengan kemungkinan bahwa suatu Counterparty akan gagal untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya ketika jatuh tempo (Basel II).
2. Risiko Pasar
Risiko yang muncul yang disebabkan oleh adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki oleh Bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar dalam hal ini adalah suku bunga dan nilai tukar serta termasuk perubahan harga option. Risiko pasar antara lain terdapat pada aktivitas fungsional Bank seperti kegiatan tresuri dan investasi dalam bentuk surat berharga dan pasar uang maupun penyertaan pada lembaga keuangan lainnya, penyediaan dana, dan kegiatan pendanaan dan penerbitan surat utang, serta kegiatan pembiayaan perdagangan.

3. Risiko Operasional.
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. Risiko operasional melekat pada setiap aktivitas fungsional Bank, seperti kegiatan perkreditan, treasury dan investasi, operasional dan jasa, pembiayaan perdagangan, pendanaan dan instrumen utang, teknologi sistem informasi dan sistem informasi manajemen dan pengelolaan sumber daya manusia.
4. Risiko Likuiditas
Risiko yang antara lain disebabkan karena bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh waktu. Risiko likuiditas dikategorikan menjadi:
a. Risiko Likuiditas Pasar, yaitu risiko yang timbul karena Bank tidak mampu melakukan Offsetting posisi tertentu dengan harga pasar karena kondisi likuiditas pasar yang tidak memadai atau gangguan pasar (market disruption)
b. Risiko likuiditas pendanaan, yaitu risiko yang timbul karena bank tidak mampu mencairkan asetnya atau memperoleh pendanaan dari sumber dana lain.
5. Risiko Hukum
Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan oleh adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna.
6. Risiko Reputasi
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank.
7. Risiko Strategik.
Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal.

8. Risiko Kepatuhan
Risiko yang disebabkan Bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Didalam prakteknya risiko kepatuhan melekat pada risiko bank yang terkait dengan peraturan perundang-undangan seperti risiko kredit terkait dengan ketentuan KPMM, KAP, PPAP, BMPK. Risiko Pasar terkait dengan Posisi Devisa Neto (PDN), risiko strategik terkait dengan ketentuan rencana kerja dan anggaran tahunan (RKAT) Bank dan risiko lainnya yang terkai dengan ketentuan tertentu.
Mencermati jenis-jenis risiko dan akibat yang ditimbulkannya bagi Bank, menuntut paradigma baru bagi Bank tentang risiko perbankan. Jika dulu kita hanya mengenal risiko kredit sekarang tidak cukup hanya dengan risiko kredit saja. Jika dulu pemantauan risiko hanyalah merupakan fungsi auditor, sekarang merupakan tanggung jawab Direksi. Jika dulu risiko hanya sebagai suatu faktor negatif yang harus dikontrol, sekarang risiko diterjemahkan sebagai suatu opportunity bagi bank.

C. Strategi Menghindari Kepailitan
Dalam kondisi lingkungan bisnis yang dinamis, perubahan-perubahan terjadi begitu cepat, maka persaingan usaha juga menjadi semakin pesat. untuk menghadapi hal itu, suatu usaha bisnis perlu suatu strategi bersaing yang mampu untuk memenangkan persaingan. strategi tersebut harus sesuai dengan kondisi perusahaan, lingkungan yang dihadapi, sehingga akan menjadikan perusahaan dapat bertahan , tetap eksis, dan usaha akan tetap terjamin.
Dalam perkembangannya, konsep strategi terus berkembang. Hal ini ditunjukkan oleh adanya perbedaan konsep atau perdebatan teoritik tentang definisi strategi. Salah satu di antara penggunaan istilah dan konsep strategi adalah seperti dikemukakan Andrews dan Chaffe yang berpendapat bahwa :
“Strategi adalah kekuatan motivasi untuk stakeholders, seperti stakeholders, debtholders, manajer, karyawan, konsumen, komunitas, pemerintah, dan sebagainya, yang baik secara langsung maupun tidak langsung menerima keuntungan atau biaya yang ditimbulkan oleh semua tindakan yang dilakukan oleh perusahaan.”
Sedangkan strategi menurut Hamel dan Prahalad ialah :
“Strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) terus menerus dan dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan. Dengan demikian perencanaan strategi hampir selalu dimulai dari ” apa yang dapat terjadi” bukan dimulai dari “apa yang terjadi”. Terjadinya kecepatan inovasi pasar baru dan perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti (core comptencies). Perusahaan perlu mencari kompetensi inti di dalam bisnis yang dilakukan.”
Dari berbagai konsep di atas dapat disimpulkan bahwa : “ Strategi adalah tujuan jangka panjang suatu perusahaan, serta pendayagunaan dan alokasi semua sumber daya yang penting untuk mencapai tujuan atau kesuksesan ”. Pemahaman mengenai konsep strategi dan konsep-konsep lain yang berkaitan, sangat menentukan suksesnya strategi yang direncanakan.

D. Tahapan Perencanaan Strategi
Perencanaan strategi adalah salah satu cara untuk membantu organisasi dan komusitas mengatasi lingkungan mereka yang telah berubah. Selain itu, perencanaan strategi juga berguna untuk merumuskan dan memecahkan masalah terpenting yang mereka hadapi, dan sekaligus berguna untuk membangun kekuatan dan mengambil keuntungan dari peluang yang ada.
Proses penyusunan perencanaan strategi melalui tiga tahap analisis :
1. Tahap pengumpulan data.
Tahap ini pada dasarnya tidak hanya sekedar kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis. Pada tahap ini data dapat dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal dan data internal.

2. Tahap analisis.
Setelah mengumpulkan semua informasi yang berpengaruh terhadap kelangsungan perusahaan, tahap selanjutnya adalah memanfaatkan semua informasi dalam model perumusan strategi.
3. Tahap pengambilan keputusan ( decision making).
Pembuatan keputusan ( decision making) adalah salah satu bagian dari tahap perencanaan strategi. Tahap ini memainkan peranan penting di dalam pelaksanakan fungsi sebuah perencanaan strategi. Pembuatan keputusan juga menggambarkan proses melalui mana serangkaian kegiatan dipilih sebagai penyelesaian suatu masalah tertentu. Pengambilan keputusan merupakan tahap terakhir di dalam perencanaan strategi, sebelum mengambil keputusan, hendaknya melihat dengan jeli dan teliti data yang dianalisis, karena pada dasarnya, pengambilan keputusan adalah hasil akhir dari sebuah analisis.

E. Macam-Macam Strategi
Seiring dengan adanya persaingan antar perbankkan satu dengan perbankan yang lain, maka macam-macam strategi tersebut antara lain, yaitu:
1. Pengembangan Pasar (Market Development)
Strategi ini berupa memasarkan produk lama. Pengembangan pasar memungkinkan perusahaan mempraktikkan satu bentuk pertumbuhan konsentrasi dengan mengidentifikasi penggunaan-penggunaan baru untuk produk yang sudah ada.
2. Pengembangan Produk (product development)
Strategi pengembangan produk (product development) seringkali digunakan untuk memperpanjang daur hidup produk yang sudah ada ataupun untuk memanfaatkan reputasi atau merek favorit.
Strategi pengembangan produk didasarkan pada penetrasi pasar lama dengan melakukan modifikasi produk atau mengembangkan produk baru yang kaitannya jelas dengan lini produk yang sudah ada.



3. Pertumbuhan Terkonsentrasi
Pertumbuhan terkonsentrasi adalah strategi perusahaan (perbankkan) yang mengarahkan sumber dayanya untuk mencapai pertumbuhan yang menguntungkan.
4. Integrasi Horisontal
Strategi horisontal adalah strategi jangka panjang suatu perusahaan yang didasarkan pada pertumbuhan melalui akuisi satu atau beberapa perusahaan sejenis yang berorientasi pada tingkat rangkaian produksi-pemasaran yang sama. Akuisi seperti ini meniadakan pesaing dan memberikan perusahaan pengakuisisi akses ke pasar baru.
5. Integrasi Vertikal.
Integrasi vertikal (vertical integration) adalah strategi yang mengakuisi perusahaan yang memasok masukannya atau perusahaan-perusahaan yang menjadi pembeli keluarannya.
6. Diversifikasi Konsentrik.
Diversifikasi konsentrik adalah akuisisi bisnis yang terkait dengan perusahaan pengakuisisi dari segi teknologi, pasar, atau produk. Jadi, perusahaan pengakuisisi mencari usaha-usaha baru yang produk, pasar, saluran distribusi, teknologi, dan kebutuhan sumber dayanya serupa tetapi tidak sama dengan yang dimilikinya sekarang, dan akuisisinya menghasilkan sinerji tetapi bukan berupa saling ketergantungan sepenuhnya.
7. Diversifikasi Konglomerat.
Diversifikasi ini berbeda dengan diversifikasi konsentrik, dalam diversifikasi ini tidak mempermasalahkan sinerji produk-pasar dengan bisnis berjalan. Perbedaan pokok antara kedua macam diversifikasi tersebut adalah bahwa diversifikasi konsentrik menekankan pada kesamaan dalam hal pasar, produk, atau teknologi, sedangkan diversifikasi konglomerat utamanya didasarkan pada pertimbangan laba.



8. Strategi Berbenah-diri
Strategi berbenah-diri (turnaround) adalah strategi memperbaiki kondisi yang ada di dalam perusahaan. Ini biasanya dimulai dari salah satu dua bentuk penghematan ( retrenchement) yaitu :
Reduksi biaya. Contohnya meliputi pengurangan tenaga kerja.
Reduksi aset. Contohnya meliputi penjualan tanah, gedung, dan peralatan tidak sangat penting bagi kegiatan pokok perusahaan.
9. Divestasi (divestiture)
Strategi divestasi adalah penjualan suatu perusahaan atau komponen utama perusahan. Penjualan ini adalah bagian dari strategi dalam sebuah bisnis, mengingat dalam hal penjualan tersebut perusahaan masih terus melakukan pembenahan.
10. Inovasi.
Di banyak industri, tidak melakukan inovasi mengandung resiko besar. Baik pasar konsumen maupun industrial makin mengharapkan adanya perubahan dan penyempurnaan produk secara berkala. Akibatnya, beberapa perusahaan merasa perlu memilih inovasi sebagai strategi umum mereka.
11. Likuidasi
Likuidasi terkadang di pandang banyak orang sebagai strategi yang tidak menarik. Tetapi sebagai strategi jangka panjang, strategi ini meminimalkan kerugian semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan diantaranya adalah pada pemilik perusahaan, para manajer, dan karyawan.
12. Usaha Patungan.
Usaha patungan (joint ventures), yaitu pembentukan usaha kerjasama antara dua perusahaan (induk) untuk membentuk perusahaan komersial ketiga (anak) yang digunakan /dioperasikan untuk kepentingan kedua perusahaan pemilik (induk).
13. Aliansi Strategik.
Aliansi Strategik dibedakan dari usaha patungan, karena perusahaan perusahaan yang terlibat tidak saling memiliki saham di perusahaan mitranya. Dalam banyak hal, aliansi strategik sinonim dengan persetujuan lisensi . lisensi adalah pengalihan sebagian hak kepemilikan industrial dan lisensor kepenerima lisensi selama waktu tertentu guna memperoleh royalti dan menghindari tarif atau kuota impor.
Dari macam-macam strategi tersebut diatas, semuanya adalah usaha mengembangakan sebuah bisnis. Strategi harus diformulasi atau disusun dengan baik, jeli, dan teliti. Karena formulasi strategi atau yang biasa disebut dengan perencanaan strategi merupakan proses penyusunan perencanaan jangka panjang perusahaan ke arah yang lebih bagus sesuai dengan misi dan visi yang diinginkan.

BAB III
KESIMPULAN

A. Perbankkan
Bisnis perbankan, yang merupakan salah satu bisnis jasa, pada saat ini berada dalam persaingan yang amat ketat. Untuk menang dalam persaingan itu, diperlukan keunggulan sumber daya masing-masing bank. Dengan keunggulan sumberdayanya, sebuah bank akan mampu bersaing baik di bidang lending maupun funding.

B. Risiko-Risiko Perbankan
1. Risiko Kredit
2. Risiko Pasar
3. Risiko Operasional.
4. Risiko Likuiditas (Risiko Likuiditas Pasar dan Risiko likuiditas pendanaan )
5. Risiko Hukum
6. Risiko Reputasi
7. Risiko Strategik.
8. Risiko Kepatuhan

C. Tahapan Perencanaan Strategi
Tahap pengumpulan data,Tahap analisis. dan Tahap pengambilan

E. Macam-Macam Strategi
1. Pengembangan Pasar (Market Development)
2. Pengembangan Produk (product development)
3. Pertumbuhan Terkonsentrasi
4. Integrasi Horisontal
5. Integrasi Vertikal.
6. Diversifikasi Konsentrik.
7. Diversifikasi Konglomerat.
8. Strategi Berbenah-diri
9. Divestasi (divestiture)
10. Inovasi.
11. Likuidasi
12. Usaha Patungan dan Aliansi Strategik.

DAFTAR PUSTAKA

Michael Hitt, R Duane Reland, Manajemen Strategis Menyongsong Era Persaingan dan Globalisasi, Jakarta, Erlangga, 1997
Muhammad,Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah,Yogyakarta, UII Press, 2001
Bambang Djinarto,Banking Asset Liability Management Perencanaan, Strategi, Pengawasan, dan Pengelolaan Dana, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000
Freddy Rangkuty, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1999
Pearce Robinson, Manajemen Strategik Formulasi, Implementasi dan Pengendalian, Jakarta, Bina rupa Aksara, 1997

PERBANKAN

Posted by amroe-iain surabaya | Posted in , | Posted on 11.29




RISIKO PERBANKAN

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah membuktikan bahwa selama 60 tahun merdeka, peta perbankan Indonesia selalu berayun ke kiri dan ke kanan, mencari bentuknya yang prima untuk
menopang pembangunan ekonomi Indonesia. Didirikan oleh para pendiri Republik, Bank Negara Indonesia 1946, sebagai ganti dari Javase Bank, sebagai bank sentralnya Indonesia. Sementara itu, disisi lain timbul juga permintaan dari sebagian besar rakyat untuk adanya bank-bank yang berdasarkan prinsip syariah Islam. Undang-Undang Perbankan kemudian diamendir/disempurnakan sehingga memberi tempat bagi terlayani dan didirikannya bank-bank syariah di Indonesia.
Lebih jauh, peranan Bank Sentral/Bank Indonesia sebagai lembaga moneter yang mengemban tugas menjamin stabilisi ekonomi/pengendalian tingkat inflasi, dan
stabilisi kurs rupiah terhadap valuta asing, maka Bank Indonesia dibuat
menjadi lebih mandiri/independent dari kegiatan pemerintah. Hal ini diwujudkan didalam Undang-Undang tentang Bank Sentral No. 23 tahun 1999. Disini mulailah terjadi masalah, baik di dalam pemahaman idea kemandirian/independensi dari Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, maupun di dalam praktiknya, terutama didalam pembinaan sistem perbankan yang sehat.Makalah ini membahas tentang risiko-risiko yang mungkin ditimbulkan oleh bank. Yang dapat menimbulkan risiko pewarisan masalah seperti beban hutang kepada generasi penerus dan masalah lain.

B. Rumusan Masalah
Agar lebih praktis dalam menguraikan permasalahan, maka perlu adanya rumusan masalah, yang mana rumusan masalah dalam studi ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Risiko-risiko perbankan?
2. Manajemen risiko perbankan satu alternative?
3. Tantangan manajemen risiko bank syariah?
4. Komparasi risiko pada bank syariah dengan bank konvensional?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Risiko-Risiko Perbankan
Risiko dan bank adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, tanpa adanya keberanian untuk mengambil risiko maka tidak akan pernah ada bank, dalam artian bahwa bank muncul karena keberanian untuk berisiko dan bahkan bank mampu bertahan karena berani mengambil risiko. Namun jika risiko tersebut tidak dikelola dengan baik, bank dapat mengalami kegagalan bahkan pada akhirnya mengalami kebangkrutan.
Risiko, khususnya di dalam konteks bisnis (Bank dan lembaga keuangan), tidaklah selalu mewakili sesuatu hal yang buruk. Kenyataannya Risiko bisa mengandung di dalamnya suatu peluang yang sangat besar bagi mereka yang mampu mengelolanya dengan baik. Hal itu mungkin yang melatarbelakangi mengapa kalimat “Saya akan ambil Risiko tersebut,” dalam bahasa Inggris lebih banyak dinyatakan dengan, I will take that chance.
Secara sederhana J.P Morgan mengartikan risiko sebagai suatu ketidak pastian dari Net Return yang terjadi, atau secara komprehensif risiko merupakan suatu potensi terjadinya peristiwa (event) yang dapat memberikan pengaruh negatif terhadap nilai suatu portofolio aset yang dapat diukur dengan probabilitas tertentu dalam rentang waktu yang diketahui.
Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa gampangnya risiko hari ini bisa diterjemahkan sebagai potensi kerugian esok hari, akan tetapi malangnya, risiko tidaklah bisa diukur seperti menghitung pendapatan dan biaya yang harus dikeluarkan bank karena risiko tidaklah bersifat “tangible”. Pengukuran risiko lebih merupakan hal yang konseptual dan merupakan tantangan dalam menerapkan praktik perbankan berbasis risiko. Jadi untuk menilai risiko yang “intangible”, mendefinisikannya dengan benar merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar.


Sifat dan Risiko Bisnis Perbankan
Meski keberadaan lembaga keuangan sangat penting bagi perekonomian, namun tetap saja bisnis di sektor keuangan menimbulkan resiko, yang jika tidak diantisipasi akan menimbulkan serangan balik bagi perekonomian. Perbankan adalah bisnis yang memiliki tingkat exposure tinggi. Sebagai lembaga intermediasi keuangan, bisnis bank harus menghadapi sejumlah risiko.
Sejumlah ekonom mengklasifikasikan berbagai risiko yang terkait dengan perbankan. Gardener (1986) melaporkan bahwa risiko bank terdiri dari risiko umum (general risk), risiko internasional (international risk) yang dicerminkan melalui risiko mata uang (currency risk), dan risiko kesehatan finansial (solvency risk). Risiko umum (general risk) adalah risiko fundamental yang pasti dihadapi oleh semua bank yang meliputi risiko likuiditas (liquidity risk), risiko suku bunga (interest rate risk), dan risiko kredit (credit risk). Votja (1973) sebelumnya memiliki pandangan yang berbeda tentang risiko bank ini. Menurutnya, risiko dapat diklasifikasikan menjadi credit risk, investment risk, liquidity risk, operating risk, fraud risk, dan risiko gadai (fiduciary risk). Sedangkan Maisel mengklasifikasikan risiko bank menjadi interest rate risk, operating risk, dan fraud risk (Maisel, 1981). Maisel berpendapat bahwa interest rate risk memberikan kontribusi secara signifikan dalam pembentukan terjadinya insolvency.
Dengan berbagai pandangan ini, maka dapat disimpulkan bahwa risiko perbankan terdiri dari credit risk, interest rate risk, currency risk, liquidity risk, solvency risk, market risk, currency risk, investment risk, operating risk, fraud risk, dan fiduciary risk. Bank Indonesia melalui PBI 5/8/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, menjelaskan defenisi risiko-risiko yang harus dihadapi Bank dalam aktivitas bisnisnya, walaupun mengadopsi Basel II namun terdapat perbedaan mengenai definisi tersebut. Adapun jenis risiko yang wajib dikelola bank adalah:
1. Risiko Kredit
Risiko kredit diartikan sebagai Risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya (PBI) atau Risiko kerugian yang berhubungan dengan kemungkinan bahwa suatu Counterparty akan gagal untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya ketika jatuh tempo (Basel II).
2. Risiko Pasar
Risiko yang muncul yang disebabkan oleh adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki oleh Bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar dalam hal ini adalah suku bunga dan nilai tukar serta termasuk perubahan harga option. Risiko pasar antara lain terdapat pada aktivitas fungsional Bank seperti kegiatan tresuri dan investasi dalam bentuk surat berharga dan pasar uang maupun penyertaan pada lembaga keuangan lainnya, penyediaan dana, dan kegiatan pendanaan dan penerbitan surat utang, serta kegiatan pembiayaan perdagangan.
3. Risiko Operasional.
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. Risiko operasional melekat pada setiap aktivitas fungsional Bank, seperti kegiatan perkreditan, treasury dan investasi, operasional dan jasa, pembiayaan perdagangan, pendanaan dan instrumen utang, teknologi sistem informasi dan sistem informasi manajemen dan pengelolaan sumber daya manusia.
4. Risiko Likuiditas
Risiko yang antara lain disebabkan karena bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh waktu. Risiko likuiditas dikategorikan menjadi:
a.Risiko Likuiditas Pasar, yaitu risiko yang timbul karena Bank tidak mampu melakukan Offsetting posisi tertentu dengan harga pasar karena kondisi likuiditas pasar yang tidak memadai atau gangguan pasar (market disruption)
b.Risiko likuiditas pendanaan, yaitu risiko yang timbul karena bank tidak mampu mencairkan asetnya atau memperoleh pendanaan dari sumber dana lain.

5. Risiko Hukum
Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan oleh adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna.
6. Risiko Reputasi
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank.
7. Risiko Strategik.
Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal.
8. Risiko Kepatuhan
Risiko yang disebabkan Bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Didalam prakteknya risiko kepatuhan melekat pada risiko bank yang terkait dengan peraturan perundang-undangan seperti risiko kredit terkait dengan ketentuan KPMM, KAP, PPAP, BMPK. Risiko Pasar terkait dengan Posisi Devisa Neto (PDN), risiko strategik terkait dengan ketentuan rencana kerja dan anggaran tahunan (RKAT) Bank dan risiko lainnya yang terkai dengan ketentuan tertentu.
Mencermati jenis-jenis risiko dan akibat yang ditimbulkannya bagi Bank, menuntut paradigma baru bagi Bank tentang risiko perbankan. Jika dulu kita hanya mengenal risiko kredit sekarang tidak cukup hanya dengan risiko kredit saja. Jika dulu pemantauan risiko hanyalah merupakan fungsi auditor, sekarang merupakan tanggung jawab Direksi. Jika dulu risiko hanya sebagai suatu faktor negatif yang harus dikontrol, sekarang risiko diterjemahkan sebagai suatu opportunity bagi bank.
Bercermin dari petikan perkataan Alan Greenspan : “...We should not forget that basic economic function of these regulated entities (banks) is to take risk. If we minimize risk taking in order to reduce failure rates to zero, we will, by defenition, have eliminated the purpose of banking system”. Pengelolaan risiko Bank bukan berarti menghilangkan risiko sampai menjadi nihil, tetapi lebih ditekankan kepada bagaimana mengukur, memonitor, mengelola dan mangembil keuntungan dan mengamankan bank dari risiko-risiko tersebut.

B. Manajemen Risiko Perbankan Satu Alternatif
Compliance (kepatuhan) atas regulasi hanya salah satu driver dalam bisnis perbankan atau bisnis apa pun. Tapi kalau hanya compliance yang jadi driver, maka sungguh tidak menarik bisnis itu, karena dari hari ke hari kita hanya memenuhi tuntutan regulasi. Beda dengan kalo kita punya driver untuk memanfaatkan sebuah opportunity bisnis yang lebih menantang, maka itu akan memberi motivasi lebih kuat, karena dibangkitkan dari internal diri atau perusahaan kita.
Dengan cara pandang seperti di atas, maka kalau sebuah bank memperbaiki pengelolaan risikonya hanya karena pengin mematuhi PBI No. 9/15/PBI/2007, selain capek psikologis juga tidak ada banyak nilai tambah yang akan dicapai. Sikap reaktif secara jangka panjang juga tidak akan menyehatkan kondisi manajemen TI. Pertanyaannya, kira-kira apa nilai tambah dari sebuah kepatuhan atas PBI No. 9/15/PBI/2007 dan bagaimana mencapainya?
Selain aspek kepatuhan, berikut ini adalah nilai tambah yang mungkin dapat dirasakan dengan memanfaatkan momentum PBI No. 9/15/PBI/2007:
1. Manajemen risiko hanya satu domain dalam Tata Kelola TI (IT Governance), sehingga keberadaan tuntutan manajemen risiko TI adalah peluang untuk memperbaiki IT Governance secara keseluruhan: Strategic Alignment, Resource Management, Performance Measurement & Value Delivery.
2. Kesempatan untuk menajamkan strategic aligment adalah kesempatan untuk menangkap kesempatan-kesempatan baru bisnis. Teknisnya, ini adalah kesempatan untuk melihat kembali Arsitektur TI kita apakah sudah mencerminkan strategi bisnis atau belum.
3. Kesempatan untuk menajamkan value delivery juga merupakan refleksi kemungkinan untuk meningkatkan efisiensi investasi TI kita.
Berikut ini poin-poin strategi yang dapat dipertimbangkan untuk menciptakan nilai tambah lebih dari implementasi PBI No. 9/15/PBI/2007:
1. Mandatory - Bank harus memiliki Framework Manajemen Risiko TI yang akan digunakan untuk melakukan assessment, menganalisa, mengukur dan memonitor risiko TI. Risk Register sebagai output akhir harus terjaga konsistensi pendekatannya, dan itulah gunanya ada framework. Keberadaan framework juga akan menjadi satu bahasa referensi antara orang TI, internal auditor, dan bahkan eksekutif.
2. Mandatory - Bank harus memiliki program tata kelola IT Security, yang berisi kebijakan, standar dan prosedur yang memadai atas area-area security utama yang tercantum di PBI No. 9/15/PBI/2007.
3. Mandatory - Bank harus memiliki struktur organisasi dan pembagian roles & responsbilities yang baik sehingga program tata kelola IT Security dapat dioperasionalkan secara normal, mulai level dewan komisaris, direksi, komite-komite, manajemen TI sampai dengan end-users.
4. Suggested – Manajemen TI menyusun IT Security Architecture yang akan menjadi blueprint pengelolaan security di bank bersangkutan. Ini akan menjadi perekat dari program tata kelola IT Security, Operasional IT Security dan pengelolaan program IT Security (awareness, education, risk management, planning).
• Satu poin spesial dalam Security Architecture adalah bagaimana kita mengelola pattern terkait dengan teknologi: infrastruktur dan aplikasi bisnis. Biasanya ini dikelompokkan dalam Technological Security Architecture.
• Berbagai kebijakan dan standar harus terintegrasi dalam arsitektur teknologi, karena tidak mungkin mengelola security secara manual saat ini. Berbagai tool dan teknologi harus dipastikan selalu mengikuti dinamika perubahan tata kelola security. Inilah pentingnya IT Security Architecture.
5. Suggested – Memperluas inisiatif pengembangan program tata kelola security menjadi inisiatif pengembangan Program Tata Kelola TI (IT Governance) dengan menggunakan rujukan standar atau best practice seperti ISO 20000 (ITSM), ISO 27000 (ISMS) atau COBIT. Pendekatan ini dalam jangka menengah-panjang akan membuat TI bank lebih adaptif di masa depan, selain memberikan competitive advantage dalam perspektif persaingan.

C. Tantangan Manajemen Risiko Bank Syariah
Porak-porandanya sistem perbankan nasional akibat dihantam krisis 1998 silam masih berdampak hingga hari ini. Lahirnya Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pada 2004 serta konsolidasi yang mungkin diwarnai dengan gelombang merger dan akusisi merupakan salah satu konsekuensi yang akan kita saksikan bersama-sama. Buruknya manajemen risiko (risk management) disebut-sebut sebagai salah satu faktor paling dominan yang menyebabkan banyak bank rontok dan memperparah keadaan pada saat krisis.
Saat ini, regulasi perbankan nasional terus bertambah dan konsolidasi perbankan tengah dijalankan. Salah satu tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan daya tahan bank terhadap segudang risiko yang menghantui. Topik manajemen risiko memang tengah naik daun. Dan, sekarang, lembaga keuangan, termasuk bank, setidaknya telah mengakui bahwa mereka harus menaruh perhatian besar pada cara-cara untuk memitigasi risiko agar bisa tetap mempertahankan daya saing, profitabilitas, dan loyalitas nasabah.
Bicara mengenai manajemen risiko bank tentu akan membawa kita pada Basel Accord II. Basel Accord II inilah yang menjadi dasar bagi Bank Indonesia (BI) dalam mengatur dan memberikan petunjuk pada bank umum untuk menerapkan manajemen risiko yang terintegrasi. Kini, bank-bank tengah berselancar pada penerapan manajemen risiko yang merupakan proses berkesinambungan serta memakan banyak pikiran, tenaga, dan uang.
Sekali lagi, Basel Accord II merupakan pijakan bagi perbankan dalam penerapan manajemen risiko. Tapi, Basel Accord II dibuat hanya untuk bank-bank konvensional. Jangan lupa, pemain dalam bisnis perbankan dunia dan nasional tidak hanya bank konvensional, tetapi juga telah diramaikan oleh bank dengan prinsip syariah yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Lantas, bagaimana penerapan manajemen risiko pada bank-bank syariah? Jika melongok sejarah penerapan manajemen risiko pada bank, BI sendiri baru mulai menerapkan aturan perhitungan capital adequacy ratio (CAR) pada bank sejak 1992--menjalankan rekomendasi Basel Accord I. Sementara itu, bank dengan prinsip syariah lahir pertama kali di Indonesia pada tahun yang sama.
Jadi, jika dilihat dari usia sistem perbankan syariah, ini tentu merupakan tantangan yang berat. Bank syariah pun akan sangat sulit mengikuti apa yang telah dijalankan perbankan konvensional dalam hal manajemen risiko. Kita semua mafhum, perbankan konvensional membutuhkan waktu yang panjang untuk membangun sistem dan mengembangkan teknik manajemen risiko sampai dengan hari ini.
Operasi bank syariah memiliki karakteristik dengan perbedaan yang sangat mendasar jika dibandingkan dengan bank konvensional. Tapi, manajemen risiko, tidak boleh tidak, juga harus diimplementasikan oleh bank syariah kalau tidak mau hancur dihantam risiko. Memang sebuah tantangan yang tak ringan untuk dihadapi.
Apa yang dapat dilakukan? Cara yang paling cepat dan efektif adalah mengadopsi sistem manajemen risiko bank konvesional. Tentu saja disesuaikan dengan karakteristik perbankan syariah. Inilah yang dilakukan BI sebagai regulator perbankan nasional yang akan menerapkan Basel Accord II. Cara ini juga diterapkan perbankan syariah.
Saat ini, Islamic Financial Services Board (IFSB) tengah merumuskan prinsip-prinsip manajemen risiko bagi bank dan lembaga keuangan dengan prinsip syariah. Pada 15 Maret 2005, exposure draft yang pertama telah dipublikasikan. Dalam executive summary draft tersebut jelas-jelas disebutkan bahwa kerangka manajemen risiko lembaga keuangan syariah mengacu pada Basel Accord II dan disesuaikan dengan karakteristik lembaga keuangan dengan prinsip syariah.
Secara umum, risiko yang dihadapi perbankan syariah bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian besar. Yakni, risiko yang sama dengan yang dihadapi bank konvensional dan risiko yang memiliki keunikan tersendiri karena harus mengikuti prinsip-prinsip syariah. Risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, dan risiko lainnya jelas harus dihadapi bank syariah. Tetapi, karena harus mematuhi aturan syariah, risiko-risiko yang menghantui bank syariah pun menjadi berbeda.
Bank syariah juga harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik (khas). Risiko unik ini muncul karena isi neraca bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional. Pendek kata, pola bagi hasil (profit sharing) yang dilakukan bank syariah menambah kemungkinan munculnya risiko-risiko lain. Withdrawal risk, fiduciary risk, dan displaced commercial risk merupakan contoh risiko unik yang harus dihadapi bank syariah.
Belum lagi pembiayaan syariah yang bervariasi tentu memiliki karakteristik risiko yang tak kalah unik. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi bank syariah untuk mencari teknik yang jitu dalam mengelola risiko-risiko tersebut.
Konsekuensinya, teknik-teknik yang digunakan untuk melakukan identifikasi, pengukuran, dan pengelolaan risiko pada bank syariah dibedakan menjadi dua jenis. Teknik-teknik standar yang digunakan bank konvesional, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip syariah, tentu bisa diterapkan pada bank syariah. Beberapa di antaranya, gap analysis, maturity matching, internal rating system, dan risk adjusted return on capital (RAROC).
Di sisi lain, bank syariah bisa mengembangkan teknik baru yang sudah tentu harus konsisten dengan prinsip-prinsip syariah. Ini semua dilakukan dengan harapan bisa membantali risiko-risiko lain yang sifatnya unik tersebut.
Survei yang dilakukan Islamic Development Bank (2001) terhadap 17 lembaga keuangan Islam dari 10 negara mengimplikasikan, risiko-risiko unik yang harus dihadapi bank syariah lebih serius mengancam kelangsungan usaha bank syariah dibandingkan dengan risiko yang dihadapi bank konvesional. Survei tersebut juga mengimplikasikan bahwa para nasabah bank syariah berpotensi menarik simpanan mereka jika bank syariah memberikan hasil yang lebih rendah daripada bunga bank konvesional.
Risiko unik inilah yang disebut dengan withdrawal risk. Lebih jauh, survei tersebut menyatakan, model pembiayaaan bagi hasil, seperti diminishing musyarakah, musyarakah, mudharabah, dan model jual-beli, seperti salam dan istisna, lebih berisiko ketimbang murabahah dan ijarah.
Jika bicara mengenai manajemen risiko, tentu bank akan berhadapan dengan pemilihan instrumen finansial untuk membantali risiko. Tantangan lain bagi bank syariah adalah keterbatasan instrumen-instrumen finansial, seperti derivatif dan instrumen pasar uang, yang bisa digunakan untuk melakukan lindung nilai terhadap risiko.
Masalahnya, penggunaan instrumen-instrumen tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini juga menjadi tantangan besar bagi kalangan perbankan syariah. Mereka harus dapat mengembangkan instrumen finansial yang sesuai dengan khasanah Islam. Apa mau dikata, penelitian-penelitian mengenai manajemen risiko dalam konteks bank syariah masih sangat terbatas. Tetapi, bukan berarti instrumen yang sesuai tidak bisa diciptakan. Kita lahir diberi akal dan pikiran. Jalan terbuka asal mau kerja keras dan kerja cerdas.
Kembali pada konteks bank syariah lokal. Penerapan manajemen risiko sudah pasti harus dilakoni dengan sungguh-sungguh. Proses manajemen risiko dengan segala teknik yang digunakan harus dipahami oleh unit manajemen risiko bank-bank syariah.
Karena BI dan IFSB mengacu pada aturan Basel Accord II, pemahaman yang matang mengenai manajemen risiko bank konvensional akan sangat membantu penerapan manajemen risiko di bank syariah. Waktu tidak banyak, sedangkan tantangan segunung. Bank syariah perlu bergerak cepat untuk dapat berselancar di atas penerapan manajemen risiko yang berkualitas.

D. Komparasi Risiko Pada Bank Syariah Dengan Bank Konvensional
Bisnis adalah suatu aktifitas yang selalu berhadapan dengan resiko dan return. Bank syari’ah dan bank konvensional adalah salah satu unit bisnis. Oleh karena itu, bank syari’ah dan bank konvensional juga menghadapi risiko yang ada dalam industri perbankan yaitu risiko pasar, kredit, likuiditas, operasional, hukum, reputasi, strategi dan ekuitas. Komponen risiko pasar dapat di kelompokkan sebagai risiko tingkat suku bunga, risiko nilai tukar dan risiko harga. Namun, karena karakteristik yang spesifik dari transaksi bank syari’ah yang kontrak transaksinya tidak didasarkan tingkat suku bunga, maka risiko perubahan tingkat suku bunga bukan merupakan komponen risiko pasar yang dihadapi bank syari’ah. Oleh karena itu di dalam makalah ini juga akan membahas perbandingan risiko pada bank syariah dengan bank konvensional.
Pada Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 disebutkan bahwa risiko-risiko yang terdapat pada perbankan, antara lain :
a. Risiko Kredit (credit risk)
Adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak memenuhi kewajibannya. Pada bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada bank syariah, tingkat balas jasa terukur oleh sistem bagi hasil dari usaha. Selain itu, persyaratan pengajuan kredit pada perbankan syariah lebih ketat dari perbankan konvensional sehingga risiko kredit dari perbankan syariah lebih kecil dari perbankan konvensional.
Oleh sebab itu pada sisi kredit, dalam aturan syariah, bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli murabahah.
Mekanisme seperti itu, akan mencegah kemungkinan dana kredit digunakan untuk transaksi spekulasi, atau untuk jual beli valas. Jika terjadi default, bank mudah mendapatkan dananya kembali karena ada aset yang nilainya jelas berupa sejumlah kredit yang dikucurkan. Dalam bank syariah, karakter nasabah (personal garansi) lebih dinomorsatukan, ketimbang cover guarantee berupa aset (Karim, 2003).
Dengan demikian debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya berjalan baik akan mendapat prioritas. Oleh sebab itu, risiko bank syariah sebetulnya lebih kecil dibanding bank konvensional. Bank syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di bank biasa.
b. Risiko Pasar
Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar. Pada perbankan syariah tidak terdapat risiko pasar dikarenakan perbankan syariah tidak melandaskan operasionalnya berdasar risiko pasar.
c. Risiko Likuiditas
Risiko antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan liabilitas. Apabila bank menahan aset seperti surat-surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka resiko likuiditasnya bisa lebih rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat- surat berharga membatasi pendapatan, karena tidak dapat memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan pembiayaan.
Faktor kuncinya adalah bank tidak dapat leluasa memaksimumkan pendapatan karena adanya desakan kebutuhan likuiditas. Oleh karena itu bank harus memperhatikan jumlah likuiditas yang tepat. Terlalu banyak likuiditas akan mengorbankan tingkat pendapatan dan terlalu sedikit akan berpotensi untuk meminjam dana dengan harga yang tidak dapat diketahui sebelumnya, yang akan berakibat meningkatnya biaya dan akhirnya menurunkan profitabilitas.
Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana.
Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.
d. Resiko Operasional (operational risk)
Menurut definisi Basle Committe, resiko operasional adalah resiko akibat dari kurangnya sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Resiko ini lebih dekat dengan keasalahan manusiawi (human error), adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko operasional .
e. Risiko Hukum
Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau lemahnya perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya kontrak. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko hukum.
f. Risiko Reputasi
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko reputasi.
g. Risiko Stratejik
Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko stratejik.
h. Risiko Kepatuhan
Risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko kepatuhan.

BAB III
PENUTUP

Simpulan
Risiko-Risiko Perbankan
Risiko dan bank adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, tanpa adanya keberanian untuk mengambil risiko maka tidak akan pernah ada bank, dalam artian bahwa bank muncul karena keberanian untuk berisiko dan bahkan bank mampu bertahan karena berani mengambil risiko. Namun jika risiko tersebut tidak dikelola dengan baik, bank dapat mengalami kegagalan bahkan pada akhirnya mengalami kebangkrutan.
Adapun jenis risiko yang wajib dikelola bank adalah: Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Operasional, Risiko Likuiditas, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko Kepatuhan dan Risiko Strategik.
Saat ini, regulasi perbankan nasional terus bertambah dan konsolidasi perbankan tengah dijalankan. Salah satu tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan daya tahan bank terhadap segudang risiko yang menghantui. Topik manajemen risiko memang tengah naik daun. Dan, sekarang, lembaga keuangan, termasuk bank, setidaknya telah mengakui bahwa mereka harus menaruh perhatian besar pada cara-cara untuk memitigasi risiko agar bisa tetap mempertahankan daya saing, profitabilitas, dan loyalitas nasabah.
Di dalam makalah ini juga di bahas perbandingan risiko pada bank syariah dengan bank konvensional. Pada Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 disebutkan bahwa risiko-risiko yang terdapat pada perbankan, antara lain: Risiko Kepatuhan, Risiko Stratejik, Risiko Reputasi, Risiko Hukum, Resiko Operasional (operational risk), Risiko Likuiditas, Risiko Pasar dan Risiko Kredit (credit risk).